JOEHOOGI.COM - Maksud dari tulisan saya ini hanya sekedar berbagi nostalgia perjuangan dari kesaksian saya terhadap insiden kekerasan aparat kepolisian terhadap Gerakan Mahasiswa yang memprotes pembredelan pers nasional (Tempo, Editor dan Detik) di Boulevard UGM, Yogyakarta yang terjadi pada tanggal 27 Juni 1994.
Tulisan yang mengenang lembaran peristiwa sejarah 22 tahun yang silam ini hanya mengingatkan kepada kita semua betapa proses perjuangan dari para aktivis Gerakan Mahasiswa era 1990-an banyak mengalami terjal rintangan, penuh tantangan dan resiko yang harus diambil sebagai pilihan demi untuk sebuah masa depan negeri yang lebih bermartabat, beradab dan demokratis sesuai amanat dari cita-cita Proklamasi Kemerdekaan.
Semua tulisan ini merupakan copy paste dari catatan harian saya. Semoga kehadiran tulisan ini bermanfaat untuk kita semua.
Mimbar Bebas Gempurderu di Boulevard UGM
Senin, 27 Juni 1994, 09.00 WIB, saya sudah bergabung dengan kawan-kawan mahasiswa di Jogja yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Purna Orde Baru (Gempurderu) di Boulevard UGM untuk melakukan mimbar bebas dan rencana aksi turun ke jalan untuk memprotes kesewenangan pemerintah yang telah mengeliminasi kebebasan pers di Indonesia, yaitu kebijakan dari Menteri Penerangan yang melakukan pencabutan/pembredelan SIUPP terhadap Majalah Tempo, Editor dan Tabloid Detik.
Dalam aksi Gempurderu ini, Heri Sebayang sebagai Komando Lapangan. Tampak saya lihat, keterlibatan Umar Kayam, Ashadi Siregar dan Emha Ainun Nadjib juga mengisi orasi di mimbar bebas ini. Ketiganya mengecam kebijakan pemerintah yang telah banyak mencampuri secara terbuka kebebasan pers di Indonesia, terbukti telah dicabutnya SIUPP Tempo, Editor dan Detik.
Cak Nun dalam orasinya menyindir Gus Dur: “Saya menunggu kepedulian Gus Dur, jangan hanya asyik mengurusi Bola…..”
Kayam menilai,”Kebijakan pemerintah mencabut SIUPP Tempo, Editor dan Detik adalah kejahatan pemerintah terhadap konstitusi, pasal 28 UUD 1945…..”
Saya pun turut mengisi orasi selama 10 menit, ”Insiden pembredelan pers terhadap ketiga media public terbesar di Indonesia justru menjadi potret yang lengkap dari wajah rezim Orde Baru yang sebenarnya betapa Negeri ini benar-benar fasis otoriter…..”
Rencana Gempurderu untuk melakukan aksi turun ke jalan menuju Departemen Penerangan wilayah DIY ternyata tidak diijinkan oleh pihak keamanan. Akhirnya aksi tetap berlanjut lewat Mimbar Bebas saja. Isyu orasi yang disampaikan kawan-kawan tidak hanya terbatas pada seputar pembredelan pers, melainkan isyu meluas hingga ke persoalan kasus-kasus kejahatan Negara kepada HAM seperti kasus Marsinah, Kedung Ombo, Nipah, Tanjung Priok, Timor Timur dan masih banyak yang lain.
Banyak nama para petinggi Orde Baru dicaci-maki sebagai biang kerok kehancuran demokrasi di Indonesia. Tapi dari sekian nama-nama petinggi Orde Baru, nama Soeharto dan Harmoko yang sering mendapat penghujatan sebagai sumber dalang semua bencana (SDSB) yang terjadi.
15.00 WIB, Massa mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Yogyakarta semakin memadati aksi mimbar bebas. Begitu pula ABRI yang terdiri dari tentara dan polisi juga bersiaga turut memadati aksi mimbar bebas ini.
Ultimatum Polisi Tidak Dihiraukan
16.30 WIB, ada ultimatum dari polisi lewat pengeras suaranya,” Kami dari pihak keamanan meminta kepada semua adik-adik mahasiswa agar segera membubarkan diri demi ketertiban dan keamanan. Bila sampai pukul 17.00 WIB kerumunan aksi adik-adik mahasiswa masih belum membubarkan diri maka jangan salahkan jika kami terpaksa membubarkan kalian.”
Terhadap ultimatum polisi ini tampaknya para peserta aksi tidak menghiraukannya. Ultimatum polisi ini justru membuat para peserta aksi tergugah militansinya dengan merapatkan barisan perlawanan. Tampak Heri yang berada di garda depan dengan nada geram melalui megaphone mendekati barisan polisi anti huru-hara,”Kalian polisi dan tentara sebagai abdi masyarakat, mengapa mau diperlakukan sebagai pasukan robot bernyawa oleh penguasa Orde Baru yang betul-betul anti demokrasi? Silahkan kalian tembak kami yang tidak bersenjata ini, kami siap menjadi martir demi cita-cita masa depan Bangsa dan Negara kami yang lebih beradab dan demokratis.”
Orasi HS ini disambut antusias oleh kawan-kawan melalui berbagai teriakan yel-yel balasan: ”Hidup Mahasiswa … Hidup Rakyat…. Hidup Buruh dan Petani…. Ganyang Orde Baru… ABRI PKI…”
Polisi Membubarkan Paksa
17.00 WIB, ternyata ultimatum polisi tidak gertak sambal, puluhan polisi mulai merangsek memasuki lapangan Boulevard UGM tempat berkumpulnya para demonstran dengan cara merusak barisan aksi mahasiswa. Crash antara polisi versus mahasiswa berakhir saling beradu fisik.
Berbagai intimidasi mulai dilakukan oleh polisi. Perlawanan mahasiswa tanpa senjata kepada aparat polisi yang bersenjata telah membuat perlawanan yang tak seimbang sehingga mahasiswa babak belur menjadi bulan-bulanan oleh polisi.
Perlawanan yang tak seimbang ini telah membuat para mahasiswa memilih lari sana kemari untuk menyelamatkan diri dari kebringasan amukan polisi. Kejar-kejaran mirip Tom and Jarry pun terjadi hingga sampai memasuki internal kampus. Tapi masih juga kulihat militansi beberapa kawan tetap masih melakukan perlawanan balasan melempari polisi dengan batu.
Menjadi Korban Kekerasan Polisi
Ketika mata beberapa polisi mulai mengarah kepada saya, maka saya memilih lari. Mendadak saking paniknya saya terjatuh dan tersungkur ke jalan aspal. Belum sempat saya berdiri mendadak beberapa laras sepatu polisi sudah menghujami ke tubuh saya secara bertubu-tubi dari berbagai arah.
Saya masih mencoba berusaha untuk bisa berdiri dan lari untuk bisa menghindar dari keberingasan amukan polisi tapi belum sempat lari mendadak tepat dari arah belakang tubuh saya ditendang oleh salah seorang polisi tanpa seragam hingga tubuh saya terpelanting ke depan sejauh 4 meter membentur jalanan beraspal.
Tak hanya itu tubuh saya yang sudah dalam kondisi tersungkur masih saja diinjak-injak oleh beberapa polisi. Lantas tubuh saya yang tergeletak ditinggal begitu saja di badan jalan. Saya masih berupaya semaksimal untuk mencoba berdiri dan mencoba lari dalam kondisi sempoyongan.
Melihat saya sudah dapat berdiri dan sempoyongan lari, seorang polisi tanpa berseragam spontan berteriak, ”Lihat! Dia mencoba lari, kejar…!!!” Mendengar teriakan dari salah seorang polisi tanpa berseragam ini, saya berupaya mempercepat ayunan ke dua kaki saya meninggalkan kejadian memasuki aula masjid. Tapi beberapa polisi tetap melakukan pengejaran terhadap diri saya.
Sesampai di aula masjid, saya melihat beberapa polisi melakukan intimidasi fisik kepada para mahasiswa yang sedang melakukan sholat. Tiba-tiba dari arah depan, salah seorang polisi mengayunkan alat rotannya tepat mengenai kepalaku.
Darah segar mengalir membasahi rambut dan dahiku. Dalam kondisi yang hampir sekarat ini, beberapa polisi akhirnya meninggalkan saya sendirian. Tangan kiri saya sudah tidak bisa digerakkan sama sekali. Saya tetap mencoba berjalan tertatih-tatih menuju WC dan mencoba sembunyi sambil terus mengerang kesakitan.
Tapi ada kejadian yang super aneh, tampak kulihat dengan kedua mataku, kawanku bernama Anies Baswedan malah berjalan slow ke sana kemari dan tidak mengalami kepanikan sedikitpun. Para petugas pun tidak memberlakukan intimidasi kepada Anies. Aneh, semua kawan mengalami histeria kepanikan, tapi Anies malah slow berjalan ke sana kemari bersama para aparat polisi sembari melakukan percakapan kecil dan senyum-senyum.
Bahu Kiriku Mengalami Cidera Patah Tulang
18.00 WIB, diam-diam tanpa meminta bantuan dari kawan-kawan saya berobat sendirian ke RSUD Sardjito. Untuk menuju ke RSUD Sardjito, saya mengendarai sepeda motor sendirian. Beruntunglah jika sepeda motor yang saya kendarai tidak memakai kopling tangan mengingat tangan sebelah kiri saya benar-benar invalid sulit untuk digerakkan, kalaupun dipaksa akan terasa sakit luar biasa. Ketika motor melaju tepat di depan Toserba Mirota Kampus, saya berpapasan dengan kawan Iphun. Ternyata Iphun tidak mengalami cidera sedikitpun sebab katanya ketika aksi sudah mau mengarah ke chaos, Iphun keluar dari barisan aksi untuk menyelamatkan diri.
Saya disarankan dokter di UGD untuk melakukan rontgen terhadap kepala dan tulang di bahu tangan kiri saya. Beberapa menit kemudian, hasil rontgen membuktikan kalau tengkorak kepala saya mengalami memar dan tulang di bahu tangan kiri saya mengalami cidera patah tulang. Upaya dokter menyarankan agar besok pagi saya harus ditangani dokter spesialis bedah dan harus menjalani operasi bedah tulang, tapi untuk sementara ini kedua bahuku diberi plester gip. Luka di kepalaku dibersihkan dan diberi obat luar. Untuk mengurangi rasa sakit, dokter memberi resep obat telan yang harus saya tebus di apotik.