JOEHOOGI.COM - Inilah Surat Perintah 11 Maret 1966 yang menjadi alat legitimasi prahara anak-anak bangsa Indonesia pasca 1965 di mana 89 juta lebih para anak bangsa telah tercabut hak hidupnya secara paksa tanpa proses peradilan.
Jika kita perhatikan dengan seksama substansi dari naskah Surat Perintah 11 Maret 1966 maka pada hakikatnya tidak ada yang salah pada substansi dari Surat Perintah ini. Kesalahan hanya terletak kepada praktek pelaksanaan dari Surat Perintah 11 Maret 1966.
Bung Karno selaku Presiden Republik Indonesia merasa perlu untuk memulihkan keamanan dalam negeri pasca 30 September 1965. Kemudian dia memerintahkan kepada salah satu pembantunya, Menteri Panglima Angkatan Bersenjata Angkatan Darat Letjend TNI Suharto, melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 yang kemudian dikenal sebagai Supersemar.
Tapi apa yang terjadi setelah Suharto menerima Supersemar? Supersemar ini oleh Suharto kemudian dijadikan senjata pamungkas untuk mengakhiri kekuasaan Presiden Sukarno dengan cara mengusir Presiden Sukarno dari istana Presiden dan mengkarantinanya dengan alasan sakit.
Surat Perintah bernama Supersemar ini kemudian berlanjut pada prahara genosida pasca 1965, jutaan anak bangsa yang diindikasikan sebagai komunis dan bahkan simpatisan ajaran-ajaran Bung Karno juga turut tercabut hak-haknya sebagai manusia tanpa melalui proses peradilan. Tiada satu pun kekuatan untuk mengakhiri prahara genosida pasca 1965.
Kontroversi di seputar terbitnya Supersemar sampai sekarang masih menjadi misteri perdebatan. Menurut kesaksian Soekardjo Wilardjito, salah satu ajudan Presiden Sukarno, mengisahkan bahwa Presiden Sukarno yang tidak pernah memerintahkan untuk menerbitkan Supersemar, mendadak dirinya dipaksa untuk menandatangan ketika Supersemar tersebut dibawa oleh Brigjen M.Jusuf, Brigjen Amirmachmud dan Brigjen Basuki Rachmat yang merupakan utusan dari Menteri Panglima Angkatan Darat Suharto ke Istana Negara dengan maksud supaya Supersemar tersebut ditandatangani oleh Presiden Sukarno. Ini artinya Presiden Sukarno dalam kondisi yang sangat-sangat tertekan ketika menandatangani Supersemar.
Menurut AM Hanafi dalam bukunya Menggugat Kudeta Jenderal Suharto: Dari Gestapu Ke Supersemar, yang terbit pada tahun 1998, setelah Supersemar ditandatangani Presiden Sukarno dalam kondisi yang tertekan, maka Supersemar oleh Suharto dijadikan alat legitimasi untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia dan menangkap seluruh anak bangsa Indonesia yang pernah menjadi anggota dan simpatisan PKI.
Kondisi ini membuat Presiden Sukarno marah kepada Suharto, lantas Presiden Sukarno menerbitkan Surat Perintah Tiga Belas Maret (Supertasmar) dan membekukan Supersemar. Tapi yang terjadi di lapangan, Supertasmar tidak pernah digagas oleh Suharto. Garis komando tetap berada pada Supersemar, bukan Supertasmar. Bahkan dengan lantang gagah beraninya Suharto mengatakan di depan Presiden Sukarno bahwa semua tindakan yang telah dilakukan adalah tanggungjawabnya sendiri.