Faktor keamanan yang menjadi alasan Enny Arrow tidak memperkenalkan jati dirinya sebagai pengarang. Kalau saja Enny Arrow tinggal di negara yang menjamin pornografi sebagai hak kebebasan yang dilindungi hukum negara, maka dipastikan Enny Arrow akan memperkenalkan dan membuka jatidirinya kepada khayalak JOEHOOGI.COM - Majalah Men’s Health pada tahun 2003 pernah membuat jajak pendapat perihal dari manakah sumber pertama kali para responden mendapatkan pengetahuan tentang seks? Hasilnya 17,2% responden menjawab, membaca novel-novel karya Enny Arrow menjadi sumber pertama pengetahuan mereka tentang seks.
Tentunya para responden yang menjawab demikian adalah para responden yang berusia sekitar 40 tahunan ke atas atau ketika di era 1980-an mereka masih berusia remaja. Ini artinya kaum remaja perkotaan di era 1980-an mengenal pertama kali pornografi melalui novel-novel karya Enny Arrow sebagai satu-satunya refrensi mereka tentang seks.
Maklum pada era 1980-an tekhnologi elektronik belum mengenalkan kepada mereka adanya penyajian pornografi melalui compact disc, smartphone dan internet.
Berbeda dengan remaja di era pasca 1980-an, ketika pornografi bermetamorfosis dari visi stensilan ke visi teknologi modern elektronik, maka pada saat itu juga novel-novel karya Anny Arrow sudah mulai ditinggalkan.
Apa lagi setelah video compact disc menjamur ke seluruh masyarakat kota dan pedesaan, ditambah lagi setelah masyarakat diperkenalkan smartphone yang dapat mengakses pornografi melalui layar handphone, dan terlebih-lebih lagi budaya browsing melalui internet sudah dapat menjangkau di berbagai lini dan lapisan maka novel-novel karya Enny Arrow drastis mulai dilupakan.
Konklusinya, jangan tanyakan nama Enny Arrow kepada remaja yang lahir di era pasca 1980-an sudah dipastikan mereka akan mengerenyitkan dahi dan menggelengkan kepala mendengar nama Enny Arrow.
Siapa dan bagaimana sosok wajah Enny Arrow? Dapat dipastikan tidak seorang pun yang tahu kepada sosok wajah Enny Arrow. Orang hanya tahu karya-karyanya tanpa harus dipusingkan dengan siapa sosok wajah sang pengarangnya.
Kenyatan ini dapat saya maklumi sebab Enny Arrow tidak pernah memperkenalkan atau membuka profil jati dirinya pada setiap novel yang ditulisnya. Masyarakat hanya disuguhi karya-karyanya tanpa harus mengetahui jejak sang pengarangnya.
Bahkan penerbitnya pun tidak mencantumkan alamat, hanya tertulis Penerbit Mawar dengan logo sekuntum mawar mekar yang diletakkan miring. Itu lah kemisteriusan sosok nama Enny Arrow yang berbeda dengan para pengarang novel lainnya seperti Motinggo Busye, Teguh Esha dan lain sebagainya.
Mungkin faktor keamanan lah yang menjadi alasan penyebab utama Enny Arrow tidak mau memperkenalkan jati dirinya sebagai pengarang. Kalau saja seandainya Enny Arrow tidak tinggal di negara Indonesia, atau misalnya Enny Arrow tinggal di suatu negara yang menjamin pornografi sebagai hak kebebasan yang dilindungi hukum negara, misalnya di negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan lain sebagainya, maka sudah dapat dipastikan Enny Arrow akan memperkenalkan dan membuka jatidirinya kepada khayalak pembacanya.
Namun yang terjadi Enny Arrow adalah orang Indonesia yang tinggal dan menulis di Indonesia di mana hukum positif negara tidak melindungi dan menjamin hak kebebasan pornografi pada warga negaranya.
Padahal pada tahun 1977-1992 belum ada pengesahan Undang-Undang Anti Pornografi, tapi toh kenyataannya novel-novel karya Enny Arrow dijual secara sembunyi-sembunyi, demikian pula dengan para pembeli pun membacanya juga sembunyi-sembunyi. Malu-malu tapi mau, itulah respon masyarakat kepada karya-karya Enny Arrow.
Konon pernah tersiar kabar, pada akhir tahun 2000 polisi menangkap seseorang bernama Suwarto bersama dengan barang buktinya berupa ribuan kopi cetakan stensilan pornografi dianggap sebagai orang di belakang Enny Arrow, namun hingga sekarang tidak ada kabar kelanjutan dari kabar tersebut.
Kalau menelusuri jejak rekam Enny Sukaesih Probowidagdo maka dapat dipastikan bahwa dia lah sesungguhnya orang yang punya nama alias sebagai Enny Arrow. Enny Sukaesih Probowidagdo yang lahir di kecamatan Hambalang kota Bogor pada tahun 1924 adalah wartawan pada masa pendudukan Jepang. Belajar stenografi di Yamataka Agency, kemudian direkrut menjadi salah satu propagandis Heiho dan Keibodan. Pada masa Revolusi Kemerdekaan, Enny Sukaesih Probowidagdo bekerja sebagai wartawan Republikein yang mengamati jalannya pertempuran seputar wilayah Bekasi.
Karirnya sebagai novelis pornografi dimulai pada tahun 1965. Merah di Pelabuhan Djakarta adalah karya novelnya pertama yang dia tulis dengan nama samaran sebagai Enny Arrow.
Mengapa Enny Sukaesih Probowidagdo memilih nama Enny Arrow sebagai nama samarannya? Enny Sukaesih pernah bekerja sebagai penjahit pakaian di toko penjahit Arrow di dekat Kalimalang Jakarta. Inilah alasan mengapa dia memilih nama samaran sebagai Enny Arrow.
Enny Sukaesih Probowidagdo meninggalkan Indonesia dan hijrah ke beberapa negara ketika kondisi politik dalam negeri tidak menentu pada masa pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ada tiga negara yang disinggahi Enny Sukaesih Probowidagdo antara lain Filipina, Hong Kong dan terakhir, April 1967 menetap lama di Seattle, Amerika Serikat.
Di Seattle, Enny belajar penulisan kreatif bergaya Steinbeck, kumudian rajin mengirimkan tulisan-tulisan sastranya ke koran-koran terkenal Amerika Serikat. Salah satu tulisan sastranya adalah novel berjudul Mirror Mirror.
Enny Sukaesih Probowidagdo kembali ke Jakarta pada tahun 1974. Di Jakarta dia bekerja di salah satu perusahaan asing sebagai copy writer atas kontrak-kontrak bisnis.Semasa kerjanya Enny Sukaesih Probowidagdo rajin menulis, salah satu novel yang dirilisnya berjudul Kisah Tante Sonya.
Konon oplah penjualan novel ini mendongkrak di pasaran yang mampu mengalahkan Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Esha. Di pasaran Enny Sukaesih Probowidagdo hanya mengambil keuntungan 50% dari harga jual bukunya.
Mulailah Pada dekade 1980-an, nama Enny Arrow mendapat sambutan luar biasa di khayalak para pembacanya. Mendengar nama Enny Arrow saja, konotasi orang langsung tertuju kepada bacaan khusus kaum dewasa. Ironisnya ketika pada tahun 1995 tersirat ada kabar lelayu bahwa Enny Sukaesih Probowidagdo meninggal dunia tapi tidak satupun orang Indonesia tahu kalau Enny Sukaesih Probowidagdo adalah yang mempunyai nama samaran sebagai Enny Arrow.
Inilah seklumit kisah seorang novelis dari anak bangsa sendiri yang dilahirkan dan dibesarkan di tengah arus budaya kemunafikan karakteristik bangsanya.