JOEHOOGI.COM - Wacana yang digulirkan oleh sebagian dari anak bangsa yang meminta kepada Presiden Jokowi agar memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Suharto merupakan wacana usang yang sebelumnya pernah diusulkan hal yang sama di era pemerintahan SBY.
Harian Suara Pembaruan yang terbit pada tanggal 23 September 2010 menuliskan beritanya antara lain, Suyoto Sujadi, Direktur Kepahlawanan Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial di bawah Kementerian Sosial melalui Tim Penilainya telah melakukan pengkajian terhadap 19 dari 30 nama tokoh anak bangsa yang diusulkan oleh daerah untuk diberi gelar pahlawan nasional.
Di antara 19 nama tokoh anak bangsa yang masuk nominasi itu ada nama Suharto. Suyoto Sujadi mengatakan,Semua nama tersebut masih dalam proses penggodokan di antaranya mantan presiden Gus Dur, Suharto, Johanes Leimena, dan Ali Sadikin. Gus Dur diusulkan dari daerah Jawa Timur, Suharto dari Pemerintah Jawa Tengah. Sedangkan Jawa Barat mengusulkan lima nama di antaranya Laksmi Ningrat. Nama-nama lain yang juga dinominasikan adalah Pakubowono X dan Kraeng Galengsong. Kriteria penting dalam menobatkan gelar pahlawan nasional bahwa sang tokoh harus memiliki bobot perjuangan yang terukur, baik skala lokal maupun nasional.
Tapi hingga berakhirnya kekuasaan SBY sebagai Presiden, Direktur Kepahlawanan Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial di bawah Kementerian Sosial melalui Tim Penilainya belum ada kesempatan untuk memutuskan apakah Suharto yang lolos nominasi itu akan diberikan gelar sebagai pahlawan nasional. Kini beban penilaian dan pengkajian gelar pahlawan nasional untuk Suharto telah diserahkan ke Presiden Jokowi.
Saya salah satu dari sekian juta anak bangsa Indonesia telah berharap penuh kecemasan agar Presiden Jokowi serta-merta menolak pemberian gelar pahlawan nasional untuk Suharto dengan pertimbangan jejak rekam sejarah Suharto dan para kroninya selama 32 tahun berkuasa sebagai penguasa Orde Baru telah melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap jutaan anak bangsanya sendiri.
Tidak berlebihan jika Majalah Publizer yang terbit di tahun 2008 telah menempatkan Suharto termasuk di dalam 10 kepala negara terkejam di dunia. Diperkirakan ada 500 ribu anak bangsa sendiri yang diindikasikan berafiliasi dengan PKI dibantai secara mengenaskan. Tidak hanya sampai di situ saja, serangkaian pembantaian terus dilakukan bilamana Stabilitas Negara dirasakan terusik.
Saya lahir dua bulan konon setelah Presiden Sukarno memberikan mandat Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) kepada Mayjen Suharto selaku Menteri Panglima Angkatan Bersenjata Angkatan Darat (AD). Saya baru dapat mengikuti jejak rekam Suharto sebagai penguasa yang otoriter dan anti demokrasi dimulai sejak tahun 1982 ketika saya masih duduk di kelas satu SMP ketika Negara dilibatkan secara penuh dalam peristiwa Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) yang kemudian dikenal sebagai Penembakan Misterius (Petrus) di mana militer AD di setiap daerah dilibatkan untuk menekan angka kriminalitas melalui cara menembak mati satu persatu dari para anak bangsanya sendiri yang diindikasikan sebagai bromocorah tanpa melalui proses peradilan.
Kemudian pada tahun 1984 ketika masa peralihan sekolah saya dari kelas tiga SMP ke kelas satu SMA, saya dikejutkan lagi oleh peristiwa tragedi berdarah di Tanjung Priok di mana lagi-lagi militer AD dilibatkan oleh Negara untuk membantai para anak bangsanya sendiri dari warga sipil yang sedang melakukan aksi protes tanpa melalui proses peradilan.
Kejahatan kemanusian oleh Negara ini terus berlanjut pada penangkapan dan penahanan para aktivis dakwah, bahkan para tokoh anak bangsa yang tergabung dalam Petisi 50 yang diketuai oleh Ali Sadikin pun juga mendapat perlakuan intimidasi yang sama dari Negara berupa teror, penangkapan, penahanan, penyiksaan hingga mematikan hak-haknnya sebagai warga negara.
Masih pada tahun yang sama, seluruh siswa sekolah, termasuk saya, di seantero Sabang sampai Merauke telah dipaksa untuk menonton sinema yang diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara yang disutradarai Arifin C Noer berjudul Penumpasan Pengkhianatan Gerakan 30 September/ (G30S/PKI). Film itu mengumbar kekerasan dan kebiadaban yang dilakukan PKI. Siapa saja yang menonton film itu pasti mengumpat mencaci-maki PKI sebagai biang kerok dibalik peristiwa G30S.
Intinya, Suharto dan para kroninya atas nama Negara telah berhasil melakukan doktrinasi atau pencucian otak sedini mungkin kepada para anak bangsanya sendiri yang dimulai dari masa usia anak-anak. Doktrinasi tanpa harus diberi kebebasan mencari studi banding sejarah yang lain.
Ketika saya dihadapkan kepada sajian cerita yang ada dalam sinema Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI, justru telah membuat saya semakin penasaran dan ingin terus menggali lebih banyak lagi bagaimana sesungguhnya kejadian yang sebenarnya perihal peristiwa G30S? Sejak saat itu saya masih menaruh curiga, bukankah Presiden pada waktu itu Sukarno yang merupakan kawan dekat PKI?
Jika PKI itu kejam seperti yang digambarkan dalam film tersebut, mengapa Sukarno justru lebih enjoy dengan PKI? Kalau PKI dianggap sebagai aktor intelektual melakukan kudeta, saya rasa teramat janggal mengingat pemegang kekuasaan pada waktu itu adalah Sukarno yang justru tidak merasa dikhianati oleh PKI.
Jika PKI akan mengalami kudeta melalui G30S maka logikanya Sukarno sebagai presiden dan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata yang akan dikudeta akan merasa sangat-sangat marah dengan PKI, tapi kenyataannya Sukarno hingga ajalnya tidak merasa dikudeta oleh PKI. Apa yang ada dalam kegelisahan di benakku saat itu adalah, "Film ini betul-betul tidak masuk akal, hoax, aneh dan penuh tipu muslihat."
Untuk menjawab semua kecurigaan dan rasa penasaran saya akibat saya dipaksa untuk menonton sinema Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI, maka saya yang waktu itu masih duduk di bangku kelas satu SMA melakukan serangkaian penelitian, antara lain berupa tanya jawab kepada guru sejarah di sekolah saya, kemudian bolak-balik membaca literatur sejarah yang saya pinjam dari perpustakaan umum, membaca buku-buku yang saya beli dari toko-toko buku dan para pedagang yang menjajakan buku-buku bekas, mencari kliping tajuk berita dan essai yang dimuat di berbagai surat kabar dan majalah hingga sampai membuat catatan harian yang saya dapatkan dari diskusi hingga sampai kasak-kusuk opini yang berkembang di masyarakat (masyarakat yang menjadi target saya pada waktu itu adalah kalangan orangtua yang berusia di sekitar 40 tahun ke atas tanpa membedakan pendidikan, suku, agama, ideologi dan pekerjaan).
Ternyata dari penelitian yang saya dapatkan, konklusinya antara lain: Pertama, ketika Suharto selaku Menteri Panglima Angkatan Bersenjata AD mendapat mandat Supersemar dari Presiden Sukarno justru yang terjadi adalah Supersemar ini dijadikan senjata pamungkas oleh Suharto untuk melakukan tindakan insubordinasi kepada Presiden Sukarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI hingga berujung pada tindakan de-Sukarnoisasi: mengusir Presiden Sukarno dari istana negara, melakukan karantina kepada Sukarno hingga sampai ajal menjemputnya dan melarang semua ajaran Sukarno termasuk pelarangan untuk memajang gambar photonya.
Kedua, tindakan de-Sukarnoisasi terus berlanjut dan berimbas pada genosida pasca 1965 di mana puluhan juta anak bangsa sendiri dari warga sipil yang diindikasikan sebagai anggota PKI dan simpatisan Sukarno yang tersebar di seantero dari Sabang sampai Merauke telah dibantai dengan cara disembelih, digorok, dipenggal, dibakar hidup-hidup, diperkosa, disiksa bertubi-tubi, ditahan semena-mena tanpa proses peradilan hingga penculikan tanpa diketahui jasad rimbanya. Genosida pasca 1965 ini memang dikondisikan secara sistematis dan massif oleh Negara, termasuk disupport dan tindakan pembiaran oleh kalangan petinggi militer AD.
Kalau kenyataan sejarah sudah mengupas tuntas peran jejak rekam kekuasaan Suharto selama 32 tahun dipenuhi serangkaian kejahatan kemanusiaan kepada para anak bangsanya sendiri, apakah pantas Negara memberikan gelar kepada Suharto sebagai pahlawan nasional? Sebab ketika Negara menyetujui diberikannya gelar pahlawan nasional kepada Suharto berarti Negara telah mengakui serangkaian kejahatan kemanusiaan yang sistematis dan penuh perencanaan yang dilakukan Suharto adalah tindakan yang benar.
Indonesia sebagai Negara yang beradab yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan sudah sepatutnya menolak memberikan gelar pahlawan nasional kepada Suharto yang selama 32 tahun berkuasa telah melakukan serangkaian kejahatan kemanusiaan kepada para anak bangsanya sendiri. Penolakan tegas oleh Negara ini sudah menunjukkan kepada dunia bahwa sesungguhnya jiwa Negara dan Bangsa Indonesia bukanlah jiwa negara dan bangsa yang sakit dan membusuk.