JOEHOOGI.COM - Dilema yang senantiasa dihadapi oleh seorang pemimpin di Indonesia dari mulai Kepala Daerah hingga sampai Kepala Negara dalam mengambil sebuah keputusannya yang harus dipertimbangkan adalah di satu sisi apakah harus memperhatikan kepentingan suara rakyat yang telah mempercayai untuk memilihnya sebagai seorang pemimpin, atau di sisi lain apakah harus memperhatikan kepentingan suara partai politik yang mengusungnya sebagai seorang kandidat pemimpin?
Idealnya yang menjadi harapan dari seorang pemimpin adalah antara kepentingan suara partai politik yang mengusungnya sebagai seorang kandidat pemimpin selaras dengan kepentingan suara rakyat yang telah mempercayai untuk memilihnya sebagai seorang pemimpin.
Tapi persoalan krusial yang selama ini terjadi kepentingan suara partai politik yang mengusungnya sebagai seorang kandidat pemimpin ternyata tidak selaras dengan kepentingan suara rakyat yang telah mempercayai untuk memilihnya sebagai seorang pemimpin.
Sebagai studi kasus, dilema inilah yang dihadapi tapi sekaligus sudah dijawab oleh Ir.Basuki Tjahaya Purnama, M.M yang acap disapa dengan panggilan Ahok selama menjabat sebagai seorang Gubernur DKI Jakarta. Tampaknya Ahok sudah memangkas dilema yang dihadapinya selama dirinya menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta tidak ingin diatur oleh kepentingan suara partai politik yang mengusungnya.
Ahok lebih mendengar suara hatinya yang tumbuh dari kepentingan suara rakyat yang telah memilihnya ketimbang harus mendengar kepentingan suara partai politik yang mengusungnya. Dia lebih memilih keluar dari partai politik yang mengusungnya dari pada harus dipisahkan dari suara rakyat yang telah mempercayai untuk memilihnya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Meskipun Ahok belum pernah dipilih langsung oleh rakyatnya menjadi Gubernur DKI Jakarta, tapi dia yakin betapa kinerjanya selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta telah didukung oleh sebagian besar masyarakat DKI Jakarta.
Banyak tokoh politisi partai politik menyerang Ahok dari sisi primordial seorang Ahok yang serba minoritas, tapi Ahok paham bahwa masyarakat DKI Jakarta yang multikultural tidak mempedulikan primordial yang ada pada dirinya, tapi masyarakat DKI Jakarta lebih melihatnya sebagai kinerja yang telah dikerjakan oleh seorang Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, bukan primordial yang ada pada seorang Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Meski sisi primordial seorang Ahok yang serba minoritas, tapi kenyataannya dalam masyarakat DKI Jakarta yang multikultural lebih melihat sisi kinerja seorang Ahok yang kenyataannya lebih memprioritaskan kepentingan kemaslahatan yang lebih luas untuk masa depan masyarakat DKI Jakarta.
Ahok menyadari betapa kinerjanya yang tegas tanpa ampun sikat sana sikat sini tanpa kompromi justru akan mendatangkan banyak musuh yang selama ini tidak pernah diuntungkan dengan kebijakan-kebijakannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Sekali lagi Ahok tidak peduli kepada para musuhnya selama apa yang dia kerjakan sesuai dengan kepentingan kemaslahatan yang lebih luas untuk masa depan masyarakat DKI Jakarta. Ironisnya lagi, semakin musuh Ahok bertambah maka akan semakin bertambah pula warga masyarakat DKI Jakarta yang mengharapkan Ahok nantinya tetap memimpin DKI Jakarta.
Apalagi Ahok menyadari betapa dirinya didukung oleh kekuatan suara rakyat yang signifikan ketimbang oleh suara partai politik yang lebih memprioritas di luar kepentingan kemaslahatan yang lebih luas untuk masa depan masyarakat DKI Jakarta.
Masyarakat pencinta Ahok pun membuktikan meskipun Ahok tidak diusung oleh partai politik, tapi masyarakat DKI Jakarta lah yang akan mengusung Ahok menjadi Kandidat Gubernur DKI Jakarta melalui jumlah persyaratan photo copy KTP warga masyarakat DKI Jakarta yang terkumpul yang nantinya akan diserahkan kepada KPU.
Kondisi suara rakyat yang akan menjadi pengusung kandidat kepala daerahnya justru akan membuat tamparan keras bagi partai politik untuk semakin bisa intropeksi betapa kehadiran partai politik selamai ini tidak memberikan perubahan yang signifikan kepada suara rakyatnya.
Kehadiran partai politik yang seharusnya bisa menjadi wakil suara rakyat tapi pada dataran kenyataan partai politik melalui para pengurusnya justru menjauhkan dari kepentingan suara rakyatnya.
Ketika partai politik sudah berubah dari kefungsiannya sebagai partai politik yang mampu mendengar dan menyerap kepentingan suara rakyatnya, maka jangan heran bila rakyat telah kehilangan kepercayaannya kepada partai politik.
Partisipasi rakyat tanpa melalui partai politik akan turun langsung untuk mengatasi segala persoalannya melalui kandidat independen yang nanti akan diusung dan sekaligus dipilihnya.
Sekarang kita hanya dapat menunggu untuk membuktikan pada Pemilihan Kepala Daerah tahap kedua yang akan diselenggarakan secara serentak pada tanggal 15 Februari 2017, apakah rakyat melalui kandidat indenpendennya mampu dikalahkan oleh kandidat yang akan diusung oleh partai politik? Hanya waktu yang akan menjawabnya.