JOEHOOGI.COM - Matinya Yuyun sebagai korban kekerasan seksual merupakan satu dari sekian banyak korban kekerasan seksual di Indonesia. Jika saya memperhatikan secara seksama betapa dari sekian banyak kekerasan seksual di Indonesia yang terjadi secara trend beruntun dalam rentang waktu yang berdekatan dimulai sejak lahan tempat praktek prostitusi dilarang menunjukkan eksistensinya secara masif di berbagai daerah di Indonesia.
Bila saya memperhatikan lebih seksama lagi betapa fenomenal kebangkitan kekerasan seksual muncul setelah semakin merata banyaknya penutupan secara paksa pintu akses prostitusi di Indonesia. Belum lagi berbagai kekerasan tindak main hakim sendiri yang dilakukan oleh ormas-ormas radikal terhadap tempat prostitusi di berbagai daerah, ironisnya tindakan ini justru diapresiasi oleh pemerintah daerah, telah menambah daftar panjang betapa praktek kehidupan prostitusi di Indonesia sudah semakin babak-belur dan terancam bubar.
Padahal maksud dan tujuan dari kehadiran prostitusi dimaksudkan untuk mencegah praktek tindak kekerasan seksual dari hasrat libido dari kaum lelaki yang sudah tidak dapat dibendung lagi. Jadi lebih baik memilih dosa yang lebih kecil sebagai pelampiasan untuk mencegah dosa yang lebih besar dasyatnya. Kalau dosa yang lebih kecil ditutup pintu aksesnya, maka dampak yang akan terjadi ke depan tiada lain terbukanya pintu akses ke tindakan dosa yang lebih dasyat berupa malapetaka tindak kekerasan seksual.
Faktor dampak petaka kemanusiaan inilah yang menjadi sebab mengapa prostitusi mendapat pintu akses pembiaran untuk tetap hidup dalam setiap peralihan zaman yang dimulai dari sistem kerajaan-kerajaan di Nusantara, pemerintahan kolonial Hindia Belanda, kependudukan Jepang dan hingga ke peralihan zaman kemerdekaan dari zaman pemerintahan Sukarno hingga sampai 32 tahun pemerintahan Suharto?
Tapi kemudian setelah zaman beralih ke pemerintahan reformasi, dimulailah babak peristiwa trend amuk massa yang dimotori oleh ormas-ormas radikal dan terus diapresiasi oleh kebijakan pemerintah daerah yang semakin terus memberikan penekanan secara massif untuk menutup semua pintu akses prostitusi di berbagai daerah tanpa mau berpikir ke depan dari dampak petaka yang bakalan akan terjadi bilamana masyarakat Indonesia dijauhkan dari praktek prostitusi.
Ketika semua pintu akses prostitusi tertutup rapat tanpa ada kekuatan yang berani membukanya kembali, maka saya sudah memberikan sinyal kekawatiran yang teramat besar betapa dengan tidak adanya praktek prostitusi lagi maka dampak petaka ke depan justru menjadi antithesa peristiwa yang lebih jauh mengerikan dari praktek prostitusi itu sendiri. Kekerasan seksual akan menjadi trend dari akibat hasrat-hasrat libido yang tidak ada akses pembuangannya lagi.
Kondisi ini dapat diilustrasikan dampak apa yang bakalan akan terjadi jika manusia dilarang berak di WC? Sudah dapat dipastikan dampak yang akan terjadi bakalan akan ditemukan kotoran tinja manusia yang tercecer di berbagai tempat yang tidak pada tempat semestinya. Kondisi ini lebih jauh menjikkan daripada kondisi ketika manusia membuang kotoran tinjanya di WC.
Selama ini tidak sedikit dari masyarakat kita yang telah mengkambinghitamkan pornografi sebagai biang kerok dari malapetaka kekerasan seksual. Padahal kalau mereka mau studi kasus kepada negara-negara yang melegalisasikan pornografi seperti di Jepang, Jerman, Denmark dan sebagainya justru yang terjadi tindak kekerasan seksual tidak separah yang terjadi di negara-negara yang melarang keberadaan pornografi.
Alasan dari sebagian masyarakat menganggap bahwa kehadiran prostitusi sebagai biang kerok penyebab penularan penyakit kelamin. Kekawatiran ini terlalu berlebihan sebab untuk menangkal dan terhindar dari penyakit kelamin, pemerintah daerah melalui departemen kesehatan yang bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat dapat memberikan penyuluhan tentang manfaat pentingnya pemakaian kondom untuk menghindari penyakit kelamin.Tapi ironisnya, solusi berupa kampanye manfaat kondom justru mendapat aksi penolakan di mana-mana.
Kalau sudah kondisi trend tindak kekerasan seksual sudah semakin signifikan seperti sekarang ini, lantas next timeapakah kita tetap menutup pintu akses dosa kecil berupa praktek prostitusi yang ranah dosanya hanya kepada tanggungjawab privasi seksualnya kepada Tuhan, daripada dengan membiarkan pintu akses dosa besar berupa kekerasan seksual yang ranah dosanya sudah sampai pada tindak pidana karena telah merenggut hak kemerdekaan orang lain?
Tentunya kita tidak bisa hanya berkutat pada arogansi harga mati, yang satu sisi untuk terus berupaya menutup pintu akses prostitusi dan sementara di sisi lain terus saja menghukum peristiwa yang menjadi akibatnya. Konklusinya, memisahkan hubungan sebab dari akibatnya. Jika ini yang terus terjadi maka sama saja melarang orang untuk membuang kotoran tinjanya ke WC, tapi menghukum orang yang membuang kotoran tinjanya di luar WC.