JOEHOOGI.COM - Setelah 18 tahun terhitung sejak reformasi 1998, saya sudah tidak pernah mendengar lagi perihal doktrinasi Orde Baru tentang bahaya laten PKI maupun Kebangkitan PKI. Tapi mendadak tidak ada mendung tidak ada hujan, di tengah usia reformasi sudah menembus usia 18 tahun saya dikejutkan lagi tentang phobia sebagian masyarakat terhadap Kebangkitan PKI.
Issue Kebangkitan PKI terus saja diangkat ke permukaan tanpa disertai dengan pembuktian di manakah kebangkitan itu terjadi? Saya kemudian setback beberapa minggu lalu, apakah aksi terorisme bom bunuh diri di jalan Thamrin itu dilakukan oleh aktivis PKI? Jika pertanyaan ini benar, maka sinyal Kebangkitan PKI itu memang betul-betul ada.
Tapi kekawatiranku bahwa perilaku aksi bom bunuh diri di jalan Thamrin itu bukanlah sinyal Kebangkitan PKI, melainkan ancaman dari kebangkitan terorisme yang mengusung ideologi agama seperti ISIS.
Saya kemudian menjadi bertanya lagi, lantas kejadian yang bagaimanakah dan manakah yang bisa mengarah adanya Kebangkitan PKI secara real? Tentunya Kebangkitan itu harus dibuktikan secara real adanya serangkaian insiden yang berdarah, misalnya insiden aksi bom bunuh diri, aksi perusakan tempat-tempat ibadah, penyanderaan dan perilaku kekerasan lainnya.
Ternyata hingga sampai kutulis artikel ini, tidak ada satupun insiden kekerasan berdarah atau tidak ada insiden aksi yang membuat negara menjadi chaos yang dilakukan oleh Kebangkitan PKI. Selama ini bukan Kebangkitan PKI yang saya dapatkan dalam wujud kejadian insiden berdarah an-sich, melainkan hanya aksi-aksi phobia yang dilakukan oleh sebagian masyarakat anti PKI yang seolah-olah adanya Kebangkitan PKI tanpa bisa menunjuk adanya bukti terjadinya insiden yang berdarah.
Seolah-olah saya seperti dipaksa untuk mempercayai kalau kuntilanak itu benar-benar ada tanpa disertai pembuktian seperti apakah dan dimanakah wujud real kuntilanak. Seolah-olah saya dipaksa untuk phobia tanpa disertai alasan-alasan mengapa saya harus phobia.
Parahnya lagi, seolah-olah jika saya tidak phobia dan apa lagi sampai saya tidak mempercayai keberadaan kuntilanak meskipun pada kenyataannya memang sampai hari ini saya tidak dapat melihat sosok real dari kuntilanak itu sendiri, maka sikap anti phobia saya malah dituduh sebagai bagian dari kuntilanak.
Kalau hanya diskusi berupa simposium yang mengulas Tragedi 1965 dikatakan sebagai kejadian yang mengacu kepada Kebangkitan PKI, maka kekawatiran itu tampaknya terlalu berlebihan. Sebab yang namanya diskusi adalah hak kebebasan berpendapat yang dijamin oleh undang-undang.
Perbedaan ide-ide perihal setuju atau tidak setuju pada sebuah pendapat di diskusi wajib diselesaikan melalui ajang debat dialogis (bukan apologis) dan polemik sebab yang namanya manusia di mana saja dan kapan saja pola pemikiran,pengalaman dan kecerdasannya tidak bisa diseragamkan. Jangan memisahkan pelangi dari warna-warninya sebab akan mengurangi keindahannya.
Apalagi diskusi dalam simposium yang mengulas sejarah Tragedi 1965 itu tidak ada pembicaraan yang mengarah pada wacana untuk perbuatan makar, tidak ada pembicaraan yang mengarah pada wacana untuk mengajak aksi mengangkat senjata dan tidak ada pembicaraan yang mencoba mengkritisi Pancasila sebagai Ideologi Dasar Negara.
Simposium yang saya ikuti melalui media YouTube, tak lebih dan tak kurang hanyalah ungkapan dari jeritan para korban anak bangsa sendiri yang selama 32 tahun telah tercabut hak-hak kemerdekaannya sebagai manusia, lantas meminta belas kasihan kepada Pemerintah agar hak-hak harkat dan martabatnya sebagai manusia dipulihkan kembali dari segala penindasan.
Kalau sudah begini yang mana harus ditakutkan adanya Kebangkitan PKI atau dengan lain kata yang bagian diskusi manakah yang bisa internasional masa kini, menurut berbagai berita yang secara terus-menerus tiada habisnya yang saya baca terhitung sejak bergulirnya iklim reformasi yang sudah berjalan selama 18 tahun, adalah ancaman kebangkitan terorisme.
Ancaman kebangkitan terorisme melalui serangkaian bom bunuh diri inilah merupakan ancaman yang dapat dibuktikan secara real dan bukan sekedar phobia.
Generasi muda yang lahir setelah iklim Reformasi 1998 atau sepuluh tahun sebelum bergulirnya Reformasi 1998 sangat sulit menerima adanya kekawatiran Kebangkitan PKI sebab mereka tidak pernah merasakan dan mengalami sejarah pada waktu itu.
Mereka hanya bisa mengetahui PKI pun dari buku-buku sejarah yang mereka baca.Padahal sejarah yang mereka baca pun terdiri dari dua versi yang saling kontradiksi. Sampai sekarang tidak ada satu pun sejarah yang mengulas satu pemahaman tentang kebenaran sejarah peristiwa 30 September 1965.
Hal ini lah yang sesungguhnya sulit untuk menjelaskan kepada generasi muda setelah iklim Reformasi 1998 atau sepuluh tahun sebelum bergulirnya Reformasi 1998. Perspektif mereka hanya dapat untuk melihat ke depan dari pada menengok ke belakang, yaitu kejadian yang betul-betul telaah dirasakan dan dapat dilihat, misalnya insiden kebangkitan terorisme melalui serangkaian bom bunuh diri yang memang dirasakan telah menjadi ancaman real tidak hanya masyarakat Indonesia, melainkan masyarakat internasional pun sudah turut merasakan dampaknya.