JOEHOOGI.COM - Pada sekisar tahun 1994 dan 1995 ketika Indonesia masih di bawah rezim otoriter Suharto, saya yang waktu itu masih sebagai mahasiswa selalu intens mengikuti perjalanan politik Permadi,SH sebagai oposan yang selalu intens mengkritisi kebijakan rezim Orde Baru. Pada waktu itu masyarakat luas mengenal Permadi sebagai sosok public figure yang bergerak di bidang paranormal politik.
Tidak heran jika salah seorang reporter Radio UNISI FM Jogjakarta bernama Ahmad Thoha pernah mengadirkan Permadi sebagai bintang tamu narasumber untuk wawancara di seputar topik ramalan politiknya pada Suksesi Pemilu 1997.
Saya sendiri mengetahui wawancara tersebut ketika saya meminjam kaset wawancara tersebut kepada kawan saya, yang kemudian kaset rekaman tersebut saya rekam kembali untuk saya miliki sendiri dengan dalih untuk kebutuhan koleksi dan konsumsi pribadi.
Dalam wawancara tersebut Permadi menyebutkan secara detail dan vulgar dengan berbagai argumen dan analisa ramalan politiknya bahwa bilamana nanti Suharto tetap melanjutkan kontrak politiknya sebagai Presiden, maka dengan mempertimbangkan kondisi real politik global betapa semakin banyak rakyat di seluruh dunia telah melakukan revolusi perubahan dari sistem otoriter ke arah sistem demokrasi, maka kemungkinan juga akan terjadi perubahan yang sama untuk Indonesia ke depan berupa revolusi perlawanan rakyat semesta, yang oleh Permadi disebut sebagai zaman menuju goro-goro sesuai apa yang telah diramalkan oleh Joyoboyo.
Di awal tahun 1995 ternyata tidak sedikit masyarakat juga memiliki kaset rekaman wawancara kontroversial tersebut. Ternyata kaset rekaman tersebut telah tersebar dari tangan ke tangan yang meminjamnya hingga sampai tersebar ke mana-mana.
Tidak terkecuali kaset rekaman tersebut sampai ke tangan pihak Pemerintah. Sehingga pemerintah melalui Kejaksaan Agung mengeluarkan SK No. Kep.014/J.A/ 3/1994 yang isinya melarang peredaran kaset rekaman tersebut di wilayah Indonesia.
Selanjutnya pada tahun yang sama akibat terlanjur kaset rekaman berisi wawancara antara Ahmad Thoha dan Permadi yang sudah tersebar luas ke tengah masyarakat telah membuat rezim Orde Baru melalui penyidik Polda Jogjakarta menangkap dan menetapkan Permadi sebagai tersangka.
Maklum ketika Indonesia di bawah rezim otoriter Orde Baru, kritik kepada pemerintah telah dianggap kejahatan politik negara karena dapat mengancam terganggunya stabilitas ekonomi, politik dan keamanan negara. Kalau saja misalnya apa yang diperbuat oleh Permadi diterapkan untuk konteks Indonesia di masa reformasi sekarang tentunya perbuatannya dijamin oleh undang-undang.
Permadi kemudian diadili di Pengadilan Negeri Jogjakarta dengan dakwaan menabur permusuhan dan kebencian kepada Pemerintah Indonesia di muka umum (haatzaai artikelen) yang melanggar Pasal 154 dan 155 KUHP.
Dalam Pasal 154 KUHP disebutkan,"Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Sedangkan dalam Pasal 155 KUHP berbunyi,"Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Sedangkan dalam Pasal 155 KUHP berbunyi,"Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Dalam pleidoinya berjudul Innaillahi Wainnaillahi Roziun yang disampaikan di depan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jogjakarta, Permadi melakukan tangkisan kepada dakwaan Jaksa Penuntut Umum, intinya apa yang telah dilakukan oleh Negara melalui persidangan ini dianggapnya sebagai tindakan otoriter yang telah melanggar Konstitusi Negara karena telah melakukan pembungkaman hak kebebasan pendapatnya sebagai warga negara yang telah dijamin oleh Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.
Kalau Negara terus melakukan pembenaran terhadap tindakan otoriternya, maka sama saja sistem Demokrasi telah mati di negeri ini. Simbol kematian demokrasi inilah telah dijawab oleh Permadi sesuai dengan judul pleidoinya, Innaillahi Wainnaillahi Roziun.
Selama dalam kasus-kasus peradilan yang melibatkan terdakwa politik pada masa lahirnya sistem otoriter Orde Baru hingga berakhirnya kekuasaan Suharto selama 32 tahun, tidak ada satu pun yang bebas atau lolos dari jeratan hukuman pidana penjara.
Kalau Negara terus melakukan pembenaran terhadap tindakan otoriternya, maka sama saja sistem Demokrasi telah mati di negeri ini. Simbol kematian demokrasi inilah telah dijawab oleh Permadi sesuai dengan judul pleidoinya, Innaillahi Wainnaillahi Roziun.
Selama dalam kasus-kasus peradilan yang melibatkan terdakwa politik pada masa lahirnya sistem otoriter Orde Baru hingga berakhirnya kekuasaan Suharto selama 32 tahun, tidak ada satu pun yang bebas atau lolos dari jeratan hukuman pidana penjara.
Demikian juga yang dialami oleh terdakwa Permadi telah divonis bersalah melanggar Pasal 154 dan 155 KUHP yang oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jogjakarta mengganjar terdakwa Permadi dengan hukuman pidana tiga tahun penjara di Lapas Wirogunan Jogjakarta
Sebagai catatan bahwa kedua dari Pasal 154 dan 155 KUUHP pada tahun 2007 sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga sudah tidak memiliki relevansi dengan sistem politik reformasi seperti sekarang.
Ini artinya, bilamana misalnya kasus Permadi diterapkan pada masa reformasi sekarang, maka dapat dipastikan Permadi tidak akan pernah menjadi penghuni Lapas Wirogunan sebagai narapidana politik.
Lantas apa kaitan tidak terkait antara kasus Permadi dengan kasus yang menimpa Basuki Tjahaya Purnama yang biasa dipanggil Ahok ? Dari kasus Permadi dapat disimpulkan bahwa Permadi melakukan penistaan terhadap Pemerintah Indonesia.
Kalau kemudian Permadi ditangkap, diadili dan divonis tiga tahun penjara karena hak kebebasan pendapat Permadi dalam wawancaranya dengan Radio UNISI FM telah dianggap sebagai penistaan terhadap para pejabat tinggi Pemerintah Indonesia.
Sedangkan pada kasus yang menimpa Ahok, Negara tidak pernah merasa terancam dengan pidato Ahok di depan masyarakat Kepulauanot Seribu karena Ahok memang tidak pernah melakukan penistaan kepada Pemerintah Indonesia. Ini artinya, kasus yang menimpa Ahok sangat-sangat tidak terkait dengan kasus yang pernah menimpa Permadi.
Dari sajian video tersebut dapat disimpulkan betapa Permadi terlalu mengada-ngada menyamakan kasus yang menimpa Ahok dengan dirinya sehingga Permadi sudah merasa percaya diri dan berharap kepada penyidik Polri agar melakukan penangkapan dan penahanan kepada Ahok, sebagaimana dirinya pernah ditangkap dan ditahan.
Sedangkan pada kasus yang menimpa Ahok, Negara tidak pernah merasa terancam dengan pidato Ahok di depan masyarakat Kepulauanot Seribu karena Ahok memang tidak pernah melakukan penistaan kepada Pemerintah Indonesia. Ini artinya, kasus yang menimpa Ahok sangat-sangat tidak terkait dengan kasus yang pernah menimpa Permadi.
Dari sajian video tersebut dapat disimpulkan betapa Permadi terlalu mengada-ngada menyamakan kasus yang menimpa Ahok dengan dirinya sehingga Permadi sudah merasa percaya diri dan berharap kepada penyidik Polri agar melakukan penangkapan dan penahanan kepada Ahok, sebagaimana dirinya pernah ditangkap dan ditahan.
Padahal kalau misalnya kasus yang menimpa Permadi terjadi di era pemerintahan yang sudah berada dalam sistem reformasi dan bukan otoriter lagi, maka kasus Permadi bukanlah bagian dari kasus yang harus diproses secara hukum.
Sedemikian juga misalnya kasus yang menimpa Ahok terjadi di sistem pemerintahan otoriter Orde Baru, maka otomatis Ahok tidak akan bernasib sama seperti apa yang dialami oleh Permadi karena konteksnya memang berbeda.
Konklusinya, Ahok dalam pidatonya di Kepulauan Seribu tidak melakukan penistaan kepada Pemerintah Indonesia, sedangkan dalam wawancara Permadi dengan Radio Unisi FM Jogja telah melakukan penistaan terhadap Pemerintah Indonesia.
Konklusinya, Ahok dalam pidatonya di Kepulauan Seribu tidak melakukan penistaan kepada Pemerintah Indonesia, sedangkan dalam wawancara Permadi dengan Radio Unisi FM Jogja telah melakukan penistaan terhadap Pemerintah Indonesia.
Untuk mengakhiri tulisan saya ini, saya akan membagikan file audio mp3 dari pernyataan Permadi dalam wawancaranya dengan Ahmad Thoha, reporter Radio Unisi FM Jogja. Coba dengarkan dengan penuh seksama kalimat demi kalimat semua pernyataan Permadi betapa tidak ada satu pun dari pernyataan Permadi melakukan penistaan terhadap Agama, melainkan hanya melakukan penistaan terhadap Rezim Otoriter Orde Baru. Jadi sekali lagi, kaitan antara kasus yang menimpa Permadi dengan kasus yang menimpa Ahok tidak ada kaitannya.