JOEHOOGI.COM - Jauh sebelum diputusnya Ijtima Ulama II memberikan dukungan kepada bakal calon presiden Prabowo Subianto dan bakal calon wakil presiden Sandiaga Salahuddin Uno, maka saya jauh-jauh hari sudah dapat begitu mudah memprediksinya.
Alasan saya simple saja, jauh awal mereka yang tergabung dalam Ijtima Ulama adalah orang-orang yang track records mereka berada di kubu barisan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-Ulama) yang notabene berada di kubu yang selalu mengorek-orek hingga sampai mengais-ngais mencari kesalahan Jokowi sebagai Presiden, jadi tidak mungkin Ijtima Ulama akan menjatuhkan pilihan kepada Jokowi, meskipun bakal cawapres dari Jokowi adalah Amin Ma'ruf yang notabene a big ulama figure.
Ketika diputuskan Ijtima Ulama II yang menjatuhkan pilihan kepada Prabowo-Sandiaga, maka secara tidak langsung Jokowi telah membuka veil of intelligence dihadapan ummahnya bahwa selama ini siapa sesungguhnya yang telah memplintar-plintir kepentingan ulama dan siapa sesungguhnya yang memberikan kontribusi nyata to defend the interest of the ulama.Prabowo yang digadang-gadang oleh mereka yang tergabung dalam Ijtima Ulama I agar dapat memilih bakal cawapres dari figure ulama, tapi yang terjadi justru sebaliknya Prabowo malah memilih Sandiaga sebagai bakal cawapresnya yang notabene bukan figure ulama, sementara Jokowi yang oleh mereka dituduh sebagai kontra ulama malah memilih bakal cawapres dari figure ulama.
Padahal jauh hari sebelum Prabowo memilih Sandiaga sebagai bakal cawapres, mereka yang tergabung dalam Ijtima Ulama I menetapkan dua pilihan dari figure ulama, yaitu Ustadz Abdul Somad (UAS) dan Salim Segaf Al Jufri agar dapat mendampingi Prabowo sebagai bakal cawapresnya. Tapi yang terjadi UAS menolak sebagai bakal cawapres, sehingga mereka yang tergabung dalam Ijtima Ulama I tetap berupaya agar Prabowo dapat menjatuhkan pilihan figure ulama sebagai bakal cawapresnya kepada Salim Segaf Al Jufri.
Peristiwa di atas bila saya analogikan dengan permainan catur, maka Jokowi is skilled as a landslide winner. Jokowi has appeared intelligently dengan menunjukkan tabir peristiwa yang sebenarnya kepada ummahnya betapa Jokowi yang berlatar belakang sebagai muslim dengan mengangkat bakal cawapresnya dari figure ulama justru mendapat penolakan dari mereka yang tergabung dalam Ijtima Ulama.
Sementara mereka yang tergabung dalam Ijtima Ulama yang selama ini menggadang-gadang Prabowo agar dapat memilih bakal cawapresnya dari inheritfigure ulama justru ending kenyataannya mereka malah menjilat ludahnya sendiri dengan memilih bakal capres Prabowo yang justru not from a Muslim family dan bakal cawapres Sandiaga yang dipilihnya pun ternyata not from a ulama figure.
Kalau realitasnya mereka yang tergabung dalam Ijtima Ulama menjatuhkan pilihan kepada Prabowo-Sandiaga, lantas mengapa tempo hari mereka yang tergabung dalam Ijtima Ulama begitu intens antusias sembari terus ngotot untuk memperjuangkan UAS dan Salim Segaf Al Jufri sebagai pendamping Prabowo sebagai bakal cawapresnya?
Jika mereka yang tergabung dalam Ijtima Ulama konsisten dengan keputusan awalnya, maka seharusnya mereka kecewa kepada Prabowo yang telah mengkhianati mereka yang tergabung dalam Ijtima Ulama.
Pasca Ijtima Ulama I yang has failed menempatkan figure ulama sebagai bakal cawapresnya Prabowo, maka tampaknya ada perdebatan panjang yang cukup melelahkan yang terjadi di tubuh internal GNPF-Ulama dalam menentukan sikap Ijtima Ulama II, yaitu di antara dua bakal capres-cawapres memang harus segera ditentukan satu pilihan untung dan ruginya.
Untuk menjatuhkan pilihan kepada bakal capres-cawapres Jokowi-Amin Ma'ruf tentunya tidak akan mungkin mereka lakukan mengingat policy Jokowi selama menjadi Presiden tidak pernah menguntungkan posisi mereka.
Oleh karena itu suka tidak suka dan mau tidak mau mereka yang tergabung dalam Ijtima Ulama II hanya menaruh harapan besar dengan menjatuhkan pilihan kepada Prabowo-Sandiaga.
Great expectations mereka yang tergabung dalam Ijtima Ulama II, semoga dapat terpenuhinya 17 points political promise yang disebutnya sebagai 17 points pakta integritas hasil Ijtima Ulama II kepada Prabowo-Sandiaga jika nantinya terbukti terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024 pada hasil Pemilu 17 April 2019.
Menurut saya disinilah the root of the problemnya mengapa Ijtima Ulama II menjatuhkan pilihan kepada Prabowo-Sandiaga, yaitu dari 17 points pakta integritas hasil Ijtima Ulama II hanya point 16 yang tentunya mustahil dapat terpenuhi jika mereka menjatuhkan pilihan kepada Jokowi-Amin Ma'ruf.
Pada point 16 dari 17 points pakta integritas hasil Ijtima Ulama II yang telah disepakati dan diteken oleh Prabowo-Sandiaga jika nanti terpilih menjadi Presiden, tertulis: Siap menggunakan hak konstitusional dan atributif yang melekat pada jabatan Presiden untuk melakukan proses rehabilitasi, menjamin kepulangan serta memulihkan hak-hak Habib Rizieq Shihab (HRS) sebagai Warga Negara Indonesia, serta memberikan keadilan kepada ulama, aktivis 411, 212 dan 313 yang pernah sedang mengalami proses kriminalisasi melalui tuduhan tindakan makar yang pernah disangkakan penegakan keadilan juga perlu dilakukan terhadap tokoh-tokoh lain yang mengalami penzaliman.
Point 16 dari 17 points pakta integritas hasil Ijtima Ulama II kepada Prabowo-Sandiaga jika nanti terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden, bilamana dicerna dari perspektif logika Konsep Negara Hukum, The Rule of Law, jelas tidak akan pernah bisa nyambung sebab akan bertentangan dengan supremacy of law (Kekuasaan yang tunduk pada kemauan hukum sebagai panglima) dan equality before the law (semua warga negara tanpa terkecuali sama di depan hukum).
Ini artinya jika nanti Prabowo-Sandiaga terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden maka Ijtima Ulama II akan selalu mengawal dan menagih janji kepada Prabowo-Sandiaga untuk dapat menjalankan the role of absolute power dengan melakukan disobedience terhadap Konsep Negara Hukum, The Rule of Law.
Akhirulkalam, sudah saatnya dibutuhkan intropeksi terdalam dari para petinggi GNPF Ulama sebelum menjatuhkan harapannya kepada point 16. Konon dulu ketika GNPF-Ulama masih menjadi nama GNPF-MUI getol di garda depan dengan melibatkan ribuan massa untuk mengepung kota Jakarta agar Jokowi sebagai Presiden dapat menjalankan Konsep Negara Hukum, The Rule of Law dengan selalu memperhatikan equality before the law untuk dapat menangkap, mengadili dan memenjarakan Ahok.
Sebaliknya ketika equality before of law diberlakukan kepada MRS, GNPF-Ulama justru meminta kepada Jokowi sebagai Presiden agar dapat melakukan intervensi kekuasaannya untuk tidak patuh terhadap equality before of law. Tetapi ketika Negara tetap tunduk kepada equality before of law, maka GNPF-Ulama mengganggapnya sebagai kriminalisasi kepada ulama. Equality before of law kok kriminalisasi, kepriben toh? Wallahu a'lam bish-shawabi.
Sebaliknya ketika equality before of law diberlakukan kepada MRS, GNPF-Ulama justru meminta kepada Jokowi sebagai Presiden agar dapat melakukan intervensi kekuasaannya untuk tidak patuh terhadap equality before of law. Tetapi ketika Negara tetap tunduk kepada equality before of law, maka GNPF-Ulama mengganggapnya sebagai kriminalisasi kepada ulama. Equality before of law kok kriminalisasi, kepriben toh? Wallahu a'lam bish-shawabi.