JOEHOOGI.COM - Tidak semua aksi protes mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang marak terjadi belakangan ini berakhir ricuh dan rusuh sebab masih ada methode aksi perjuangan yang mereka pakai dalam menyampaikan hak pendapat di muka umum telah dilakukan secara etis dengan menjunjung tinggi semangat anti kekerasan (non-violence) yang notabene telah mengingatkan kepada publik pentingnya perjuangan ala Ahimsa dari konsep pikiran Mahatma Gandhi.
Sebagaimana sudah menjadi kesepakatan universal betapa publik dalam kepentingan dan nilai-nilainya sangat terusik dengan kehadiran methode aksi menyampaikan pendapat di muka umum dilakukan dengan memaksakan kehendak melalui cara anarki sebab methode memaksakan hak pendapat dengan jalan kekerasan sebagai jalan keluarnya (the way of anarchy) justru tidak akan pernah menyelesaikan masalah kecuali akan menambah permasalahan baru yang semakin rumit, komplek dan corat-marut.
Sejarah sudah menguji dari sepanjang abad peradaban kehidupan manusia betapa upaya untuk menyelesaikan permasalahan apa pun dengan the way of anarchy pasti akan melahirkan permasalahan baru yang lebih kompleks berupa kurban nyawa, dendam kusumat, kebencian dari kemarahan yang membabi-buta, kerugian harta benda dan rusaknya tatanan sosial di sana-sini.
Kalau the way of anarchy di tempuh sebagai methode aksi kepada kebijakan Negaranya, maka yang bakal terjadi tiada lain akan melahirkan kondisi chaos. Kalau sudah chaos pasti akan melahirkan bloody incident sebab bagaimana pun yang namanya the way of anarchy pasti akan berhadapan dengan state security melalui Pasukan Anti Huru-Hara (PHH). Kondisi seperti ini sifatnya universal sebab berlaku untuk setiap negara tanpa terkecuali.
Tidak ada Negara di semua belahan dunia ini tanpa terkecuali yang bersedia do nothing in the destruction ketika berhadapan dengan hak menyampaikan pendapat di muka umum melalui the way of anarchy. Bahkan Negara yang menjunjung tinggi human rights sekalipun akan tetap berupaya keras menjaga ketertiban masyarakat dan memulihkan political stability dari amukan massa yang melakukan protes melalui the way of anarchy.
Hanya saja upaya pemulihan political stability di setiap negara berbeda-beda. Kalau di negara-negara yang menjunjung tinggi human rights, upaya Negara memadamkan aksi amuk massa yang berujung pada the way of anarchy pasti menggunakan senjata yang sifatnya hanya melumpuhkan tidak mematikan seperti pentungan, gas air mata, peluru karet, meriam air dan alat kejut listrik. Tapi bagi negara-negara totaliter yang tidak menjunjung tinggi human rights, upaya Negara memadamkan amuk massa dengan senjata api mematikan seperti pada peristiwa berdarah di Tanjung Priok 1984.
Indonesia pada pasca Reformasi 1998 sudah menanggalkan cara Orde Baru yang memadamkan amuk massa oleh kaum sipil yang non-milisi dengan senjata yang sifatnya hanya untuk menakuti saja seperti pentungan, meriam air dan alat kejut listrik. Tapi bila anarkisnya sudah menggunakan senjata untuk melukai PHH seperti lemparan bom molotov, katepel atau lemparan batu dan senjata tajam maka senjata yang dipakai PHH untuk meredamnya menggunakan gas air mata, tembakan peluru hampa dan karet.
Indonesia pada pasca Reformasi 1998 sudah menanggalkan cara Orde Baru yang memadamkan amuk massa oleh kaum sipil yang non-milisi dengan senjata yang sifatnya hanya untuk menakuti saja seperti pentungan, meriam air dan alat kejut listrik. Tapi bila anarkisnya sudah menggunakan senjata untuk melukai PHH seperti lemparan bom molotov, katepel atau lemparan batu dan senjata tajam maka senjata yang dipakai PHH untuk meredamnya menggunakan gas air mata, tembakan peluru hampa dan karet.
Kondisi yang terjadi pada pasca Reformasi 1998, kehadiran PHH hanya sebatas berjaga-jaga saja kalau kondisi yang terjadi pada massa yang melakukan aksi menyampaikan hak pendapat di muka umum dilakukan secara etis sebatas orasi tanpa kekerasan. Sebaliknya jika kondisi aksi amuk massa berujung pada the way of anarchy, maka PHH yang awalnya hanya sebatas berjaga-jaga akan berubah sebagai pengendali memadamkan amuk massa.
Kondisi ini tidak bisa hanya dilihat dari sisi sebelah mata oleh para pemerhati Hak Asasi Manusia (HAM) yang seolah-olah hanya PHH yang telah melakukan kekerasan padahal dari pihak demonstran yang memulai melakukan kekerasan menyerang PHH. Tapi di Indonesia pada setiap aksi yang melibatkan amukan massa, selalu para pemerhati HAM hanya menyalahkan pihak PHH. Seolah-olah PHH harus diam saja kalau massa perusuh melempari bom molotov, melakukan pengrusakan di sana-sini dan bahkan melakukan penyerangan kepada PHH pun harus didiamkan.
Kadang saya ingin bertanya, coba tunjukkan satu negara saja di mana ada Pemerintahan di suatu Negara yang akan berbuat diam ketika ketertiban dan stabilitas di negerinya sudah dirampas habis-habisan oleh para perusuh? Tak ada satu pun Pemerintah di suatu Negara di permukaan Bumi ini yang bersedia diam atau tanpa membalas ketika ketertiban dan stabilitas di negerinya diporak-porandakan oleh para perusuh.
Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dipakai oleh negara-negara yang menjunjung tinggi HAM tiada lain selama methode aksi untuk menyampaikan hak pendapat di muka umum dilakukan secara etis menjunjung tinggi semangat anti kekerasan, lantas bilamana aksi damai ini mendapat serangan kekerasan dari pihak Negara melalui PHH nya, maka kita wajib menegur keras dan mengecamnya. Tapi sebaliknya jika methode aksi untuk menyampaikan hak pendapat di muka umum berujung pada the way of anarchy, lantas bilamana aksi anarki ini mendapat upaya tindakan penertiban dari Negara melalui PHH nya, maka kita wajib untuk memakluminya bersama.
Sekarang marilah kita menengok aksi-aksi protes belakangan ini yang melibatkan mahasiswa dan pelajar yang terjadi secara beruntun dan bertubi-tubi di setiap kota di tanah air kita, apakah Negara melalui PHH nya dalam menghadapi para demonstran sudah sesuai dengan SOP atau sebaliknya telah menyalahi SOP? Apakah aksi-aksi protes belakangan ini yang dilakukan oleh para mahasiswa dan pelajar sudah dilakukan secara etis menjunjung tinggi semangat anti kekerasan ataukah justru malah sebaliknya?
Kalau yang terjadi adalah aksi-aksi protes itu telah berujung pada the way of anarchy, lantas Negara melalui PHH nya mengambil upaya hukum penertiban yang tujuannya tiada lain untuk memadamkan amuk massa yang lebih meluas, maka apakah Negara melalui PHH nya telah menyalahi SOP? Kalau ada pihak nyinyir yang mengatakan Negara melalui PHH nya telah salah melalukan upaya penertiban kepada para perusuh, lantas coba sebutkan satu saja dari Negara mana di permukaan Bumi ini yang melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi amuk massa yang berujung pada the way of anarchy
Akhirulkalam, untuk menjawabnya tentunya kita harus bisa bertindak netral senetral-netralnya, melepaskan dari segala kepentingan politik apa pun yang melandasinya. Terkecuali jika memang ada agenda politis yang terbesit sebagai tujuan politis dari para elit politik yang sengaja ingin menjatuhkan Pemerintah secara konstitusional dengan memanfaatkan aksi mahasiswa sebagai tujuan politisnya. Wallahu A'lam Bishawab.