JOEHOOGI.COM - Di satu sisi Pemerintah telah menghimbau kepada seluruh anak bangsa di mana saja agar penyebaran wabah pandemi virus Corona tidak meluas, maka para anak bangsa telah ditekankan untuk turut membantu memutus mata rantai penyebaran virus Corona melalui stay at home atau berupaya untuk tetap berada di dalam rumah saja. Tapi di sisi lain Pemerintah melalui Menkumham Yassona Laoly justru telah bertindak blunder dengan kebijakan keblingernya telah membebaskan para narapidana umum.
Kalau alasan krusial dari Menkumham adalah para narapidana yang dibebaskan itu karena lapas sudah kelebihan kapasitas, maka mengapa solusinya justru para narapidana malah harus dibebaskan? Bukankah sesuai putusan Pengadilan, mereka wajib menjalani hukuman di dalam lapas? Jika harus dibebaskan, maka bagaimana marwah penegakan hukum bagi mereka yang harus menjalani hukuman?
Bukankah mereka para terhukum yang menyandang sebagai narapidana dan belum waktunya menghirup udara bebas tapi dipaksakan menghirup udara bebas justru akan menambah permasalahan pelik di kemudian hari?
Masyarakat Indonesia yang sudah dibebankan oleh rasa kecemasan dan ketakutan tiada tara dan tiada kepastian akibat wabah pandemi virus Corona tapi kini Menkumham Yassona Laoly malah menambah beban permasalahan baru kepada masyarakat dengan mencampurkan masyarakat dengan para narapidana yang belum waktunya bebas.
Kini lengkaplah sudah rasa was-was dan serba-serbi kekawatiran dari masyarakat. Masyarakat yang sudah dipusingkan dengan kepastian hidup yang serba corat-marut dan tidak menentu akibat imbas dari wabah pandemi virus Corona, tapi kini harus ditambah lagi rasa was-was dan serba-serbi kekawatiran dari masyarakat akibat kebijakan blunder Yassona Laoly yang telah membebaskan narapidana yang belum waktunya menghirup udara bebas.
Tidak ada satu pun pihak dari elemen masyarakat di Indonesia yang membenarkan kebijakan blunder Yassona Laoly. Kalau alasan krusial dari Yassona Laoly bahwa lapas kelebihan kapasitas sehingga dikawatirkan dapat menularkan wabah virus Corona ke sesama narapidana yang lain, maka kekawatiran ini tidak beralasan sebab tidak didukung data. Hingga sampai sekarang ini belum ada data yang mengkonfirmasikan narapidana di lapas terindikasi positiv virus Corona.
Tampaknya hanya Indonesia satu-satunya negara yang tidak ada satu pun narapidananya terjangkit positif virus Corona tapi buru-buru sudah dibebaskan dari lapas. Bandingkan dengan negara-negara yang telah membebaskan para narapidananya setelah diketahui kepastian adanya data yang akurat tentang sudah adanya para narapidana terjangkit positip virus Corona di lapas.
Kalau pun misalnya dimungkinkan telah ada narapidana sudah terinfeksi virus Corona, maka bukan berarti mereka harus dibebaskan. Sebab membebaskan narapidana yang belum waktunya bebas sama saja telah menciderai penegakan hukum.
Jika Yassona Laoly terus memaksakan kebijakan blundernya, maka sama saja Yassona ingin menunjukkan kepada khayalak betapa Negara telah gagal memberi rasa keamanan kepada warga negaranya.
Jika dirasakan rutan lapas adalah hukuman tahanan yang tidak nyaman untuk kondisi wabah pandemi virus Corona seperti sekarang, maka masih dimungkinkan banyak opsi yang lebih bermartabat tanpa harus membebaskan para narapidana ke tengah masyarakat, misalnya jenis hukuman tahanannya dirubah dari tahanan rutan lapas menjadi tahanan rumah.
Setelah dibebaskan para narapidana yang belum waktunya bebas oleh kebijakan blunder Yassona Laoly, kini tidak lama rasa was-was dan serba-serbi kekawatiran yang dirasakan oleh masyarakat mulai terkuak dan terbukti di lapangan. Betapa tidak sedikit media news online memberitakan para narapidana yang belum waktunya bebas telah dibebaskan melalui program asimilasi justru kini terbukti mengulangi kejahatan kembali.