JOEHOOGI.COM - Kudeta militer yang terjadi di Myanmar bukan peristiwa pertama kali terjadi. Sejarah mencatat sudah ketigakalinya kudeta militer terjadi di Myanmar.
Ketika Jenderal Thein Sein sebagai Perdana Menteri menggantikan Soe Win pada tahun 2008 memberikan peluang ke arah proses reformasi politik di Myanmar berupa referendum ke arah demokratisasi, saya tampaknya masih pesimis dan tidak yakin Myanmar sebagai pemerintah bakal dapat keluar dari bayang-bayang kekuasaan militer.
Bahkan ketika Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi memenangkan pemilu 2011 yang menempatkan Htin Kyaw sebagai presiden sipil pertama di Myanmar hingga pengundurannya digantikan Win Myint sebagai presiden sipil kedua pada tahun 2018, saya masih tetap tidak pernah yakin Myanmar sebagai Negara yang menganut sistem demokrasi.
Alasan krusial ketidakyakinan saya adalah adalah ketika Thein Sein dalam menggulirkan proses reformasi politiknya masih malu-malu dan setengah hati sebab ternyata tetap melibatkan angkatan bersenjata Tatmadaw memainkan peranannya ke dalam instalasi politik parlemen di Myanmar.
Pasca reformasi politik 2008 di Myanmar, kedudukan Presiden hanya sebagai kepala pemerintahan admistrasi negara dan bukan sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Konstitusi tetap mengatur jabatan sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata berada di bawah komando Panglima Militer.
Presiden tidak memiliki kewenangan konstitusi untuk mengangkat dan memberhentikan Panglima Militer. Kewenangan pengangkatan dan pemberhentian Panglima Militer adalah urusan internal penuh Tatmadaw sebagai satu-satunya institusi angkatan bersenjata di Myanmar.
Bahkan lebih urgent lagi, reformasi politk yang diperjuangkan oleh Thein Sein belum kepada wacana upaya pemisahan di tubuh angkatan bersenjata antara polisi dan tentara. Konstitusi tetap memposisikan intitusi polisi sebagai bagian dari angkatan bersenjata Tatmadaw yang berada di bawah komando Panglima Militer.
Kalau kondisi real militer masih memegang peranan penuh dalam instalasi politik di Myanmar lantas jasa yang bagaimanakah yang telah dicapai oleh Thein Sein dalam menggulirkan Reformasi politik 2008?
Kebijakan reformasi poliitk oleh Thein Sein yang notabene seorang Jenderal yang turut ambil bagian junta militer sejujurnya bukan perjuangan murni yang tumbuh dari idealisme seorang Thein Sein, melainkan kepiawaian Thein Sein sebagai negosiator tingkat tinggi yang cukup cerdas membaca keinginan tuntutan selera pasar internasional.
Target reformasi politik oleh Thein Sein dengan jargonnya yang hanya cukup membebaskan para tahanan politik termasuk Aung San Suu Kyi dan tanpa mereformasi di tubuh militer tampaknya oleh Thein Sein dianggap cukup sebagai syarat untuk merespon kepercayaan masyarakat internasional terhadap situasi politik di Myanmar yang cenderung pro demokrasi.
Konklusinya jangan ada harapan pemerintahan sipil dapat berdaya dan bertahan dalam menjalankan roda pemerintahannya selama belum ada pemisahan militer antara polisi dan tentara, selama komando polisi ada dikewenangan tertinggi Panglima militer, selama militer dilibatkan dalam instalasi sistem politik sipil di parlemen dan selama kekuasaan Panglima Militer berada di atas Presiden.
Akhirulkalam, jika masih ada negara selain Myanmar yang memposisikan Panglima militernya di atas Presiden sipil dan kedudukan Presiden sipil hanya sebagai kepala pemerintahan admistrasi negara dan bukan sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, maka kondisi Negara seperti ini hanya menunggu waktu peluang bakal akan terjadi kudeta militer.