JOEHOOGI.COM - Kebebasan berpendapat (freedom of speech) yang dipublikasikan melalui lisan dan tulisan yang terjadi khususnya pada kepemimpinan Presiden Joko widodo sudah saatnya dibutuhkan afirmasi deskripsi rasional tentang maksud dari kepatutan kebebasan berpendapat sehingga tidak bertabrakan dengan nilai-nilai hukum dan demokrasi.
Selama ini kebebasan berpendapat yang dipublikasikan melalui lisan dan tulisan selalu saja berakhir kepada proses hukum pidana akibat dari implementasi blunder oleh sebagian dari masyarakat kita yang mencampuradukkan antara pengertian kritik dengan fitnah dan fakta dengan ilusi.
Implementasi blunder yang mencampuradukkan antara pengertian kritik dengan fitnah dan fakta dengan ilusi telah menjadi satu-satunya biang kerok mengapa kebebasan berpendapat yang dipublikasikan melalui lisan dan tulisan harus berujung ke meja intrograsi dan terali besi penyidik.
Kasus hukum pidana terbesar dari kebebasan berpendapat yang dipublikasikan melalui lisan dan tulisan adalah konten informasi sampah bernarasi provokasi yang dicapai dari dalil memfitnah tanpa merujuk kepada akurasi data dan fakta.
Tidak ada satupun negara di belahan dunia ini yang sistem hukum dan demokrasinya melindungi dan melakukan pembiaran kepada warga negaranya yang mempublikasikan kebebasan berpendapatnya secara semena-mena penuh dengan ujaran kebencian lewat dalil memfitnah dengan menyerang kehormatan perorangan dan kelompok tanpa disertai referensi akurasi data dan fakta.
Konsep kebebasan berpendapat menurut negara-negara anggota Organisasi Konfrensi Islam (OKI) yang tertuang dalam pasal 22 Deklarasi Kairo memberikan penegasan meskipun sejatinya manusia itu memiliki hak asasi manusia untuk menyatakan kebebasan berpendapatnya tetapi nilai penting dalam kebebasan berpendapat itu tidak melanggar dari hak asasi orang lain (maqashid al-syariah).
Substansi moral dalam Declaration of Human Rights (1948) sejatinya memberikan penekanan kemanfaatan nilai keselarasan kepada setiap bangsa dari negara-negara di dunia untuk menghargai dan menghormati hak-hak kebebasan individu atau kelompok yang tidak berbenturan dengan hak-hak kebebasan individu atau kelompok lainnya.
Pasal 29 Declaration of Human Rights pada intinya menetapkan bahwa dalam hak kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak kebebasan orang lain untuk memenuhi standard moralitas yang adil demi kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Bertitik tolak dari pendekatan pasal 29 Declaration of Human Rights, maka hak menyampaikan kebebasan berpendapat di muka umum harus memperhatikan beberapa landasan kebebasan yang bertanggungjawab dalam mempublikasikan pendapat secara lisan dan tulisan antara lain harus memperhatikan pada lima asas antara lain: asas keselarasan antara hak dan kewajiban, asas kepastian hukum dan keadilan, asas musyawarah, asas proposionalitas dan asas kemanfaatan.
Berlandaskan pada kelima asas tersebut di atas, maka diharapkan kebebasan berpendapat sesuai Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 juncto pasal 28E ayat (3) Undang-Undang dasar 1945 dapat mencapai tujuan untuk mencegah terjadinya pressures secara phisik dan psikis yang notabene dapat mengurangi jiwa dan makna dari proses keterbukaan dalam penegakan hukum di Indonesia.
Akhirulkalam, kepada para Jokowiophobia, sampaikan kritik bukan fitnah dan fakta bukan ilusi sebab realitasnya selama dua periode Presiden Jokowi hanya diserang melalui ujaran kebencian secara semena-mena yang dicapai dari dalil memfitnah tanpa merujuk kepada akurasi data dan fakta. Wallahu a'lam bish-shawabi.