JOEHOOGI.COM - Ketika saya melihat ribuan pemudik kendaraan bermotor bertahan di penyekatan jalan raya dilarang mudik dan bahkan ada yang nekat menorobosnya maka dalam benak saya terlintas pertanyaan: Apakah mereka paham dalam suasana pandemi virus Corona ini, pemerintah melakukan pelarangan arus mudik-balik 6 sampai 17 Mei 2021 agar Indonesia terhindar dari bencana tsunami Covid-19? Lantas mengapa tetap mau nekad mudik seolah-olah mereka seperti berharap Indonesia segera dilanda bencana tsunami Covid-19?
Ketika para calon pemudik menggerutu tidak bisa mudik akibat pelarangan arus mudik-balik oleh Pemerintah, maka pertanyaan yang terlintas dalam benak pikiran saya kepada para pemudik: Apakah mereka tahu bahwa pandemi virus Corona belum berakhir di Indonesia? Oleh karena pandemi virus Corona belum berakhir, maka salahkan jika Pemerintah melakukan upaya penyelamatan kepada rakyatnya melalui pelarangan arus mudik-balik?
Kalau saja di tengah pandemi virus Corona ini adanya jaminan dari kesadaran masyarakat terhadap arus mudik-balik yang dapat memutuskan mata rantai penularan virus Corona melalui social distancing dan tidak akan bakal terjadinya social crowd, maka dapat dipastikan Pemerintah tidak akan memberlakukan pelarangan arus mudik-balik kepada rakyatnya.
Jika seandainya di seantero dunia tidak adanya kondisi darurat berupa pandemi virus Corona yang mewabah, tetapi Pemerintah melakukan pelarangan terhadap tradisi arus mudik-balik yang sudah berjalan sejak abad ke-7 Masehi, maka kegeraman dan kemarahan masyarakat kepada Pemerintah perihal pelarangan arus mudik-balik dapat saya pahami. Tetapi sebaliknya, faktanya yang terjadi sampai hari ini pandemi virus Corona masih tetap menunjukkan gradasi greget survivenya, sehingga kegeraman dan kemarahan dari sebagian masyarakat kepada Pemerintah perihal pelarangan arus mudik-balik tidak akan pernah dapat saya pahami.
Kalau misalnya saja Pemerintah tidak melarang arus mudik-balik yang notabene wabah pandemi virus Corona masih menunjukkan gradasi greget survivenya, lantas ini sama saja Pemerintah mengharapkan bencana tsunami Covid-19 yang terjadi di India yang merenggut 4000 jiwa kematian dalam 24 jam bakal akan terjadi di Indonesia. Jika kondisi tsunami Covid-19 seandainya terjadi di Indonesia, maka yang terjadi bakal akan dipastikan rakyat akan sepenuhnya menyalahkan Pemerintah.
Sesungguhnya secara substansi bukan arus mudik-balik yang dilarang Pemerintah, tetapi akibat dari tradisi arus mudik-balik yang selalu membawa arus kemacetan di sana-sini hingga terciptanya social crowd dan tidak adanya social distancing sehingga otomatis sangat dimungkinkan terjadinya cluster Covid-19 melalui airbone disease yang menjadi penyebab mengapa Pemerintah melarang arus mudik-balik. Sebab bila kondisi ini terus mendapatkan pembiaran oleh Pemerintah maka sangat dimungkinkan gelombang tsunami Covid-19 yang terjadi di India dan Malaysia bakal akan terjadi di Indonesia.
Lantas bagaimana di tengah darurat wabah pandemi virus Corona, tradisi arus mudik-balik yang sudah berjalan sejak abad ke-7 Masehi tetap dapat terpelihara hingga sampai sekarang? Tiada jalan lagi kecuali melakukan tradisi arus mudik-balik sebelum tanggal pelarangan itu dimulai dengan tetap disertai surat keterangan negatif Covid-19. Hanya ini lah kiat cerdas untuk melakukan hajat tradisi mudik-balik tanpa harus melawan dan mencederai protokol kesehatan.
Bermudiklah sebelum tanggal pelarangan arus mudik-balik diterapkan oleh Pemerintah dengan tetap memperhatikan surat keterangan negatif Covid-19. Saya jamin tidak akan bakal terjadi penyekatan di jalan-jalan seperti terjadi sekarang ini. Konklusinya, silahkan bermudik ke kampung halaman sebelum tanggal 6 Mei 2021 dan baliklah nanti setelah tanggal pelarangan berakhir 24 Mei 2021.
Akhirulkalam, tapi bilamana kiat cerdas tersebut di atas tidak dapat dijalankan oleh masyarakat dan realitasnya masyarakat cenderung lebih memilih untuk melakukan pelanggaran dan menciderai protokol kesehatan, maka hanya ada upaya satu jalan yang menurut saya sangat efektif untuk diterapkan oleh pemerintah yaitu tutup semua akses Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) milik Pertamina di seantero Indonesia yang berlaku mulai ditetapkannya tanggal pelarangan hingga tanggal pelarangan berakhir.