JOEHOOGI.COM - Persoalan politik moneter memang sangat akut dan kompleks. Belum lagi tentang kemandirian Bank Sentral di suatu negara dalam menentukan fluktuasi kurs menjadi tanda tanya ke poros manakah negara tersebut berkiblat.
Ketika sekelompok ekonom Orde Baru seperti Wijoyo Nitisastro dan kelompok Berkleynya melakukan perubahan yang dramatik dan percaya diri membawa ekonomi Indonesia kepada suasana yang optimistik dimana konsepsi ekonomi yang dibawah kendali Presiden Soekarno telah tergantikan oleh konsep ekonomi Orde Baru yang lebih rasional.
Pertumbuhan seiring dengan apresiasi kurs rupiah yang ditopang oleh kekuatan mata uang Dollar US. Ini berarti bahwa pasang-surutnya Rupiah bergantung dari kehendak The Federal Reserve System (The Fed), bank sentral Amerika Serikat. Selanjutnya nilai mata uang Rupiah dan harga pertumbuhan pembangunan ditentukan nilai Dollar US.
Pasca Orde Baru beberapa kekuatan dunia muncul secara multilateral. Uni Eropa (UE) yang berkekuatan 27 negara berhasil menyatukan dan melebur menjadi super power baru di luar US. Bahkan UE telah berhasil membentuk Euro sebagai mata uang bersama. Begitu juga kebangkitan Negari Tirai Bambu Tiongkok yang berpopulasi melebihi sekaligus gabungan US dan UE.
Tiongkok muncul bagaikan raksasa sipit yang melihat dunia dengan cara sipit pula. Tiongkok memiliki penduduk yang sangat besar dan siap menjadi contemporary super power. Untuk menstabilkan dan support warga negaranya, Tiongkok harus membuat ekonomi kuat dan nilai mata uang yang stabil yaitu mengendalikan Yuan dalam tahapan rasional.
Jejak rekam sejarah hingga sampai sekarang telah menunjukkan betapa negara-negara Muslim tidak pernah menunjukkan konsistensi persatuannya. Turki pada tahun 2009 menyebut kebijakan Tiongkok di Uighur sebagai genosida, tapi pada tahun 2017 hingga sekarang justru Turki berbalik memberikan dukungannya kepada Tiongkok. Iran sendiri justru telah menjadi mitra terhadap setiap kebijakan Tiongkok. Bahkan Pakistan dan Arab Saudi memuji setiap kebijakan Tiongkok terhadap etnik Uighur. Lagi-lagi hubungan ekonomi menjadi faktor alasan primer yang harus diutamakan.
Masyarakat International menyadari bahwa setelah penaklukan Kabul oleh Taliban masih dalam suasana euforia. Kemenangan Taliban yang cepat dan mengejutkan bukan hanya dirasakan oleh masyarakat internasional tapi oleh masyarakat Afghanistan sendiri. Tampaknya mereka belum terlalu menyadari tentang kemenangan cepat Taliban ini.
Mungkin juga pemimpin Taliban tidak akan percaya sepenuhnya kepada Beijing tetapi langkah pro Tiongkok juga sepenuhnya dilakukan sebagai langkah sementara sebelum konsolidasi antar sesama warga Afganistan. Tidak dapat dipungkiri betapa tanah di Afganistan memang kaya oleh sumber daya alam tapi menyimpan lika liku luka kebangsaan dan keislaman yang akut dan fundamental. Wassalam. (T. Ipun Nasruddin Syah)