JOEHOOGI.COM - Apa yang harus kita banggakan kepada para pejuang kemerdekaan, pada leluhur pembebas dari penjajah, jika hari ini kita masih saja disibukkan dengan pertengkaran politik.
Tidak terbayang berapa ribu istri telah kehilangan suaminya mati sahid karena turut bertempur di medan perang. Demikian pula tidak terhitung luka nestapa kepedihan hati rakyat yang sanak familinya hilang serta tubuhnya terkoyak oleh peluru senapan dan mortir penjajah.
Memang kita tidak lagi dijajah secara fisik oleh kolonialis Belanda dan Jepang tapi kita merasa masih terjajah oleh sistemik ketidakadilan dan kemiskinan.
Dua semangat perjuangan yang sama-sama berat yang pernah dihadapi oleh pejuang masa lalu dan juga pada generasi hari ini. Jalan perjuangannya memiliki karakteristik yang berbeda, namun sama beratnya dalam menghadapi problematika bangsa. Agar bangsa ini dapat keluar dari cengkraman penjajah ekonomi harus kita butuhkan perjuangan.
Bangsa yang sarat beban ekonomi akan membawa kesengsaraan rakyat. Kemiskinan keterbelakangan dan minimnya pendidikan menjadi tantangan bangsa ini. Kita harus memiliki mindset sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Ini upaya untuk menghindari hegemoni kapitalisme dunia pada kita.
Apa yang sekarang dihadapi bangsa ini? Bukan sebatas kendornya idealisme terhadap nilai-nilai dasar negara. Tapi kita mencari kesibukan pertentangan yang tidak punya nilai kualitas. Bangsa ini mengalami kekalahan bertarung dengan bangsa-bangsa lain karena kita sudah terbiasa dibesarkan dalam asupan ketergantungan.
Ironis jika bangsa ini mempunyai sumber daya alam yang sangat-sangat melimpah tapi yang mengelola adalah dari pihak bangsa asing. Pada akhirnya yang memperolah keuntungan besar bukan bangsa kita tapi pihak pengelola yang mendapatkan.
Problematika ke depan bangsa-bangsa yakni bagaimana dapat menyelematkan keberlangsungan hidup, Apa yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di dunia ini adalah soal penguasaan sumber daya alam.
Dulu bangsa-bangsa Eropa datang ke Nusantara dengan sengaja menjajah secara fisik untuk mengambil hasil alam Nusantara secara paksa. Dan sekarang bangsa Indonesia berada pada persimpangan jalan. Seperti soal keamanan di Indonesia bagian timur yakni Papua telah menjadi agenda panjang.
Konflik horisontal yang tidak jauh seperti apa yang pernah terjadi di Aceh adalah agenda yang harus segera diselesaikan agar ketentraman saudara-saudara kita di Papua terjamin nyata.
Timpang soal pendapatan daerah dan ketidakadilan pembagian hasil bumi akan membawa konflik yang tidak berkesudahan.
Kesejahteraan rakyat harus diimplementasi secara valid bukan hanya sekedar propaganda agar bangsa ini tidak terdera oleh beban sosial kehidupan yang sepertinya tidak ada kunjung usainya.
Kita ambil dari generasi HOS Cokroaminoto, Sosrokartono dan lain-lain sebagai tonggak pertama membangun kesadaran berbangsa dan bernegara yang berdaulat.
Kemudian disusul oleh generasi selanjutnya yaki generasi Budi Utomo seperti dr. Wahidin Soedirohusodo, Dr.Soetomo, Soeradji Tirtonegoro, Goenawan Mangoen Koesoemo dan lain-lain yang menghantarkan pada generasi berikutnya 29 Oktober menjadi tonggak sejarah yang mendiclare satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa yakni Indonesia.
Dari generasi Cokro, Sosrokartono, estafet pada generasi Kebangkitan Nasional 1908 tonggak awal persatuan Indonesia yakni generasi 1928. Tidak ada jedah serta putusnya eratan gerakan yang dipelopori kaum cendekiawan itu yang kemudian melahirkan generasi 1945 yang endingnya mengambil alih kekuasaan dari penjajah menuju bangsa yang merdeka. Jalan panjang dan berliku banyak tokoh pejuang kemerdekaan yang berjuang tanpa didasari pamrih.
Medan berat yang harus dijalani para pejuang dengan darah dan air mata telah melahirkan pondasi bangsa. Anyaman pemikiran oleh para faunding fathers menjadi bingkai way of life nya bangsa seperti ini.
Tapi sangat disayangkan jika pondasi bangsa itu kini telah mulai robek dan terkoyak oleh kepentingan-kepentingan rakus untuk menguasai bangsa ini kembali sebuah catatan dijajah oleh apa yang dinamakan investasi global dalam ekonomi. Menjadi sebuah catatan bagi kita bahwa kita sedang kalah bertanding dengan bangsa-bangsa lain.
Akhirulkalam, mari kita teteskan air mata bersama untuk merayakan kekalahan kita. Sebab mata air kita sudah dikuasai bangsa asing dan bukan oleh para anak cucu dari para pejuang tanah air kita sendiri. (Eko S Dananjaya)