Selama ini jika kita intens mengikuti setiap narasi liar para Jokowiophobia yang bertebaran di berbagai media sosial, maka konklusi harapan dari target final tuntutan mereka hanya ada dua alternatif pilihan. Alternatif pertama, Jokowi melengserkan diri sebagaimana pernah dilakukan oleh Presiden Suharto menjelang Reformasi 1998. Alternatif kedua, Jokowi dilengserkan sebagaimana pernah dialami oleh Presiden Sukarno dan Gus Dur.
Bermimpi untuk menuntut Jokowi melengserkan diri sebagaimana pernah dilakukan Presiden Suharto tidak dapat menjadi tolok ukur sebab Jokowi hanya menjabat sebagai presiden belum mencapai dua periode atau baru merangkak delapan tahun, sedangkan usia jabatan Suharto sebagai presiden ketika melengserkan diri sudah melebihi dari enam periode atau tiga puluh enam tahun lamanya.
Sedemikian juga bermimpi untuk melengserkan secara paksa Jokowi sebagaimana pernah dialami Presiden Sukarno dan Gus Dur tidak bisa dijadikan tolok ukur sebab pemerintahan Jokowi mendapat dukungan yang solid dari mayoritas anggota Parlemen, TNI dan Polri, sedangkan Sukarno dan Gus Dur ketika dilengserkan tidak mendapat dukungan yang solid dari mayoritas anggota parlemen, TNI dan Polri.
Bagi Jokowi dalam negara Demokrasi siapa saja boleh berwacana macam-macam sesuai selera yang dikehendaki tapi Jokowi sadar betul bahwa dinamika wacana apa pun pada akhirnya dikembalikan kepada amanat Konstitusi bahwa masa jabatan Presiden hanya dapat dipilih kembali selama dua periode.
Konklusinya sebelum kegaduhan perihal wacana penundaan Pemilu dan penambahan tiga periode masa jabatan Presiden bergulir di tengah khayalak, Jokowi sudah serta-merta menolak adanya wacana dari keinginan sebagian para elite politik perihal penundaan Pemilu dan penambahan tiga periode masa jabatan Presiden.
Tetapi yang terjadi beraneka ragam kegaduhan tetap saja terjadi. Bahkan kegaduhan itu telah mereka presentasikan lewat serangkaian demo dengan melibatkan massa dengan skala yang besar. Pertanyaan krusialnya adalah apakah tuntutan hakiki para pendemo ini? Mau melabrak siapakah para pendemo ini?
Siapakah para elite politik Jokowiophobia yang dimaksud? Ada tiga klasifikasi kelompok dari para elite politik Jokowiophobia yang bekerja secara sinergis yang kehadirannya hanya sebagai bohir.
Pertama, kelompok bohir Jokowiophobia yang selama ini pundi-pundi bisnis ilegal kekayaannya terancam oleh kebijakan Jokowi. Kebijakan untuk menyelamatkan aset-aset Negara seperti mengambil alih Blok Minyak Rokan, saham Freeport, aset penguasaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) menjadi milik Negara dan lain sebagainya.
Kedua, kelompok bohir Jokowiophobia yang selama ini masuk sebagai barisan sakit hati akibat tidak mendapat peran panggung dalam sistem Pemerintahan Jokowi. Padahal sebelum pemerintahan Jokowi, tampaknya kelompok bouwheer ini mendapat peran panggung yang memadai.
Ketiga, kelompok bohir Jokowiophobia yang selama ini menempatkan pemahaman keagamaan secara puritanistik telah terusik oleh kebijakan Jokowi berupa deradikalisasi dalam pemahaman keagaman untuk menjaga keutuhan keberagaman kebangsaan yang multikultural, multietnik dan multiagama. Kelompok para bouwheer ini berdalih betapa perjuangan menegakkan semangat pemahaman keagamaan secara puritanistik mendapat pembiaran dari sistem pemerintahan sebelum Jokowi.
Ketiga kelompok bohir Jokowiophobia ini meskipun visi dan misinya berbeda arah tujuan tapi semangat anti Jokowi nya tetap sama sehingga mereka selalu bekerja secara sinergis untuk selalu memprovokasi membuat kegaduhan-kegaduhan dalam skala nasional yang ujung tuntutan harapannya tiada lain makzulkan Jokowi.
Akhirulkalam, waktu yang sisa 22 bulan bukanlah waktu yang lama untuk masa jabatan dua periode seorang Presiden. Tanpa memaksakan kehendak memakzulkan Jokowi melalui serangkaian demo dengan mengerahkan massa besar dan berjilid-jilid pun sudah dapat dipastikan Jokowi bakal meletakkan jabatannya sebagai Presiden dua periode pada tahun 2024.