JOEHOOGI.COM - Ketika membaca berita di berbagai media jurnal online perihal penggebrekan yang dilakukan oleh Polisi Metro Jaya di Rumah Produksi Film Dewasa yang ada di tiga lokasi di Jakarta Selatan, maka yang terlintas dalam pikiran saya tiada lain Rumah Produksi Film Dewasa di Jakarta Selatan itu telah memproduksi film-film porno yang menurut hukum di Indonesia merupakan tindakan pidana.
Pertanyaannya, benarkah Rumah produksi Film Dewasa yang dimaksud itu benar-benar memproduksi film-film porno? Sebab terus terang saja persepsi saya perihal konten film porno adalah seperti layaknya film-film bokep yang ada di situs-situs porno seperti adegan yang mengumbar ketelanjangan secara penuh dengan mempertontonkan aurat vital dari organ genital perempuan dan lelaki secara vulgar.
Setelah saya menyaksikan sendiri semua film yang dihasilkan oleh Rumah Produksi Film Dewasa itu lewat websitenya di https://kelasbintangg.com/ dan https://togefilm.com/, ternyata tidak satu pun saya menemukan film yang dikategorikan porno kecuali sajian film dewasa tapi bukan kategori pornografi.
Semua konten film yang disajikan di kedua website tersebut tidak satu pun saya temukan sebagai film yang berkategori porno. Konten film yang disajikan pun sangatlah berbeda jauh disebut sebagai film berkategori porno jika mengacu kepada konten film yang disajikan di situs-situs porno seperti pornhub, xnxx, xhamster dan lain-lain.
Kalau saja kita mau jujur konten film dewasa yang disajikan pada semua film yang dihasilkan oleh Rumah Produksi Film Dewasa itu lewat websitenya tersebut sama dengan konten film dewasa yang ada pada film-film bioskop tempo dulu seperti Bebas Bercinta (Inneke Koesherawati,1995), Kenikmatan Tabu (Kiki Fatmala,1994), Bernapas Dalam Lumpur (Suzzana, 1970), Bumi Bulat Bundar (Eva Arnaz,1983) dan masih banyak yang lain.
Bahkan boleh dikatakan semua film yang dihasilkan oleh Rumah Produksi Film Dewasa di Jakarta Selatan lewat websitenya tersebut meskipun sudah diberi peringatan konten khusus dewasa ternyata tidak sebanding dengan film-film bioskop tempo dulu.
Terlalu lebay jika film-film yang dihasilkan oleh Rumah Produksi Film Dewasa di Jakarta Selatan itu dikategorikan sebagai film porno sebab realitasnya dari awal hingga akhir film tidak ada satu pun ditemukan adegan yang mengumbar ketelanjangan secara penuh dengan mempertontonkan aurat vital dari organ genital perempuan dan lelaki secara vulgar.
Dalam pengamatan saya, thema yang ada pada semua film yang dihasilkan oleh Rumah Produksi Film Dewasa di Jakarta Selatan banyak bertebaran di kanal-kanal Youtube. Hanya saja perbedaannya kalau di Youtube, film-film khusus dewasa hasil karya anak bangsa sendiri itu disajikan secara umum dan gratis. Sedangkan kalau film-film hasil olahan Rumah Produksi Film Dewasa di Jakarta Selatan ini tersaji dalam sebuah websitenya sendiri dan tidak setiap orang bisa menonton dan mengunduhnya kalau tidak memiliki id member..
Kalau hasilnya bukan konten film berkategori porno sebab memang terbukti tidak ada sajian adegan telanjang penuh yang mempertontonkan aurat vital perempuan dan lelaki secara vulgar lantas entah apa alasan Tim Subdit Siber Polda Metro Jaya melakukan penangkapan hingga menetapkan tersangka kepada siapa saja yang telah terlibat dalam Rumah Produksi Film Dewasa di Jakarta Selatan?
Terlebih konyol dan celakanya lagi sang model Supriatna Sujani yang tampil sebagai kameo bernama Ujang dalam film berjudul Kramat Tunggak juga ikut terseret dalam kasus pornografi, meskipun dalam film tersebut Ujang tidak melakukan adegan apa pun yang berkaitan dengan pornografi. Betapa super karetnya Tim Subdit Siber Polda Metro Jaya dalam menetapkan tersangka.
Kalau alasan Tim Subdit Siber Polda Metro Jaya beranggapan konten film yang disajikan oleh Rumah Produksi Film Dewasa di Jakarta Selatan itu dikategorikan sebagai film porno karena sajiannya dianggap terlalu menggugah birahi bagi yang menyaksikannya, maka cara pandang seperti itu justru ranah kasusnya akan bisa melebar ke mana-mana jika Tim Subdit Siber Polda Metro Jaya mau bertindak adil.
Tentunya tidak hanya Rumah Produksi Film Dewasa di Jakarta Selatan yang harus ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka sebab masih ada ratusan ribu pelaku model amatir mengekspos kemolekan tubuh dan kecantikannya lewat film-film short yang dikategorikan dapat menggugah birahi yang menonton telah bertebaran secara lumrah dan lazim di TikTok, Youtube, Facebook, Instagram, Twitter dan lain-lain.
Meskipun pornografi sudah berumur 30.000 tahun silam pada masa Paleolitikum, tapi sampai sekarang belum ada tolok ukur standard untuk menilai sebuah peristiwa yang dianggap porno ataukah bukan.Tegasnya tolok ukur yang dicapai masih berdasarkan perspektif selera yang subyektifitas bagi tiap individu untuk menilai sesuatu dianggap porno atau bukan.
Celakanya lagi jika tolok ukur selera subyektif ini dipakai oleh pihak polisi yang mengemban tugas sebagai penyidik dalam menentukan dakwaan apakah peristiwa itu memiliki substansi delik pidana pornografi ataukah bukan.Ini lah yang menurut saya dialami oleh para tersangka yang terlibat dalam Rumah Produksi Film Dewasa di Jakarta Selatan.
Dalam perspektif universal harus dibedakan mana peristiwa dari hasil Pornografi dan manakah peristiwa dari hasil Erotika. Tapi masih saja dari sebagian orang mencampuradukkan pengertian Pornografi dan Erotika.
Padahal peristiwa dari hasil Erotika adalah hasil karya dari sebuah budaya yang memiliki artistika dan estetika bernilai seni tinggi seperti pertunjukan tradisonal tarian Goyang Kerawang, Ronggeng, Jaipongan, Angguk, Tayub, Bedhoyo dan masih banyak yang lain.
Akhirulkalam, apakah Tim Subdit Siber Polda Metro Jaya akan berlaku adil kepada semua konten film berlabel dewasa yang tolok ukurnya berdasarkan perspektif selera yang subyektif yaitu konten yang diduga dapat menggugah birahi bagi tiap individu yang menontonnya? Tentunya saya hanya dapat menunggu kepastian dari jawaban yang adil dari Tim Subdit Siber Polda Metro Jaya dalam persoalan ini.